Jujur dan amanah merupakan salah satu akhlak mulia yang dimiliki Rasulullah (saw) dan merupakan akhlak dalam meninggalkan kejahatan. Dua sifat ini sebenarnya adalah dua sifat alami (thabi’i).[1]
Jujur dalam bahasa arab dikenal dengan nama diyanah dan mutadayyin.[2] Hadhrat Masih Mau’ud (as) mendefinisikan jujur dan amanah sebagai sifat yang tidak suka merugikan orang lain dengan jalan merampas harta benda orang lain secara licik dan dengan niat jahat.[1]
Kita mengetahui bahwa salah satu sifat menonjol Rasulullah adalah al-amiin artinya orang yang memegang teguh amanat atau orang yang jujur.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur diartikan sebagai sifat lurus hati, tidak curang, tulus atau ikhlas. Contoh sifat ini adalah berkata apa adanya dan mengikuti aturan yang berlaku.[3]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,
Manusia tidak ingin berkata dusta selama tidak terdorong oleh kepentingan pribadinya. Dan dalam berdusta dia merasakan di dalam hatinya semacam kebencian serta ganjalan. Itulah sebabnya ia tidak senang dan memandang rendah orang yang terbukti telah berkata dusta.[4]
beliau (as) melanjutkan,
Jadi, meninggalkan kejujuran pada saat terancam suatu kerugian sama sekali tidak tergolong dalam akhlak sejati. Keadaan dan kesempatan yang sangat tepat untuk lurus hati ialah pada saat jiwa atau harta atau kehormatan terancam bahaya.[4]
Kaitan Jujur dengan Akhlak Lainnya
Jujur mempunyai kaitan erat dengan sifat:
- Adil
- Memenuhi perjanjian
- Shidqun (Lurus hati)
- terusterang
- terbuka
- setia
- tulus
- kepercayaan
Perintah Alquran untuk Jujur
Alquran Surat Al-Baqarah Ayat 45
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat kebajikan sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat) itu, maka apakah kamu tidak berpikir?” (QS 002:045)
Penjelasan: Birr (kebajikan) berarti, berbuat baik terhadap keluarga dan lain-lain, kejujuran, kesetiaan,ketakwaan, kepatuhan kepada Allah Swt (Aqrab). Kata itu berarti pula kebaikan atau kebajikan yang berlimpah-limpah (Mufradāt).
Alquran Surat Al-baqarah Ayat 283
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang kepada sesamamu untuk masa tertentu, maka hendaklah menuliskannya, dan hendaklah seorang juru tulis di antaramu menuliskannya dengan jujur, dan janganlah juru tulis itu menolak untuk menuliskan, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhak (yakni yang berhutang) itu mendiktekan dan ia harus bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi darinya sedikit pun. Tetapi jika orang yang berhak itu kurang berakal atau lemah, atau ia tidak mampu mendiktekan maka walinya harus mendiktekan dengan adil. Dan tetapkanlah dua orang saksi laki-laki di antara kamu, tetapi jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari antara saksi-saksi yang kamu sukai, supaya jika seorang dari kedua (perempuan) keliru, maka seorang lagi dapat mengingatkan yang lain. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu enggan menuliskannya, baik kecil maupun besar beserta batas waktu (pembayarannya). Hal demikian adalah lebih adil di sisi Allah dan lebih menegakkan kesaksian serta lebih dekat supaya kamu tidak ragu, kecuali jika perdagangan tunai yang kamu lakukan di antaramu maka tidak ada dosa atasmu jika kamu tidak menuliskannya. Dan tetapkanlah saksi apabila kamu berjual-beli, tetapi juru tulis mau pun saksi janganlah disusahkan, dan jika kamu melakukannya, maka sungguh itu suatu kedurhakaan pada dirimu. Dan takutlah kepada Allah maka Allah akan mengajarimu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 002:283)
Alquran Surat Al-Ahzab Ayat 71
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (jujur)” (QS 033:071)
Alquran Surat Al-Hajj Ayat 31
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Demikianlah (Kami telah perintahkan), dan siapa yang mengagungkan tempat-tempat yang telah disucikan Allah, maka hal itu baik baginya di sisi Tuhan-nya. Dan telah dihalalkan bagimu semua binatang ternak kecuali apa yang diterangkan kepadamu (keharamannya), maka jauhilah berhala yang najis, dan jauhilah perkataan dusta,” (QS 022:031)
Penjelasan: Ayat ini menjelaskan larangan berkata dusta atau pentingnya berkata jujur
Alquran Surat Al-Ahzab Ayat 36
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang berserah diri, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang patuh, laki-laki dan perempuan yang benar (jujur), laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang merendahkan diri, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kesuciannya, serta laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka semua ampunan dan ganjaran yang besar.” (QS 033:036)
Perintah Alquran untuk Memegang Amanat
Alquran Surat Al-Baqarah Ayat 284
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang jaminan sebagai pegangan. Jika seorang di antara kamu mempercayakan kepada yang lain maka orang yang dipercayai itu hendaklah menyerahkan kembali amanatnya, dan hendaklah ia takut kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barangsiapa menyembunyikannya maka sungguh hatinya berdosa, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 002:284)
Alquran Surat Ali-‘Imran Ayat 76
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan di antara Ahlikitab ada orang yang jika engkau mengamanatkan harta yang banyak kepadanya akan dikembalikannya kepada engkau, dan di antara mereka ada pula orang yang jika engkau mengamanatkan hanya satu dinar kepadanya tidak akan dikembalikannya kepada engkau, kecuali jika engkau tetap menagihnya. Hal demikian itu disebabkan mereka berkata, ‘Tidak ada tuntutan atas kami mengenai orang-orang ummi.’ Dan mereka berkata dusta terhadap Allah padahal mereka mengetahui.” (QS 003:076)
Alquran Surat An-Nisa Ayat 59
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu menghakimi dengan adil, sesungguhnya Allah menasihatimu sebaik-baiknya dengan itu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS 004:059)
Penjelasan: Wewenang atau kekuasaan memerintah telah dilukiskan di sini sebagai “amanat” rakyat guna menunjukkan bahwa kekuasaan itu hak rakyat dan bukan hak bawaan lahir satu individu atau suatu dinasti (keluarga raja-raja). Al-Qur’an tidak menyetujui pemerintahan dinasti atau secara turun-temurun; dan sebagai gantinya adalah mengadakan pemerintahan perwakilan. Kepala pemerintahan harus dipilih; dan dalam memilihnya rakyat diperintahkan supaya memberi suara bagi orang yang paling cocok untuk jabatan itu.
Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) menyampaikan, Maksud dari perkataan **amanat** disini adalah hak memilih yang hasilnya adalah mendapatkan hak pemerintahan. Maka pemberian suara juga adalah satu hak yang hendaknya diberikan kepada ia yang merupakan ahlinya. Inilah pemerintahan yang baik. Apabila memegang pemerintahan maka wajib dijalankan dengan adil, tidak memikirkan partainya lagi. Pemerintah yang tidak baik dewasa ini hanya berlaku adil pada anggota partainya sedangkan kepada mereka yang beroposisi terhadap partainya, tidak berlaku adil.
Alquran Surat Al-Maidah Ayat 68
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau, dan jika engkau tidak melakukan (hal itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah akan melindungi engkau dari (serangan) manusia, sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada kaum kafir.” (QS 005:068)
Penjelasan: Wahyu dari Allah Ta’ala adalah merupakan amanat untuk disampaikan kepada umatnya.
Alquran Surat Al-Anfal Ayat 28
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu berkhianat kepada Allah dan Rasul, dan (janganlah) berkhianat kepada amanat-amanat yang ada padamu padahal kamu mengetahui.” (QS 008:028)
Penjelasan: Ayat ini menyebutkan dua macam kesetiakawanan manusia, kesetiaannya terhadap Tuhan (dan Utusan-Nya) yang mutlak dan abadi, sebab Tuhan itu Khāliq dan Rabb kita, dan kesetiaannya terhadap sesama manusia yang timbul dari kesadaran adanya rasa tanggung jawab dan kewajiban terhadap mereka.
Alquran Surat An-Nahl Ayat 83
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Tetapi jika mereka itu berpaling maka (kewajiban) atasmu hanyalah menyampaikan (amanat) dengan jelas.” (QS 016:083)
Penjelasan: Tugas seorang nabi atau rasul adalah menyampaikan amanat Tuhan-nya
Alquran Surat Al-Mu’minuun Ayat 9
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan mereka yang memelihara amanat-amanat dan perjanjian-perjanjiannya,” (QS 023:009)
Penjelasan: Ayat ini meneruskan penjelasan ayat 2 yang menyatakan bahwa ciri-ciri orang-orang beriman yang akan memperoleh keberhasilan. Salah satu cirinya adalah memelihara amanat-amanat
Alquran Surat Al-Ankabut Ayat 19
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan jika kamu mendustakan (kebenaran), maka sesungguhnya umat-umat sebelum kamu pun telah mendustakan. Dan kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat) dengan jelas.” (QS 029:019)
Alquran Surat Al-Ahzab Ayat 73
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat (syariat) sempurna kepada langit, bumi dan gunung-gunung, akan tetapi mereka semuanya enggan memikulnya dan mereka takut terhadapnya, tetapi manusia memikulnya. Sesungguhnya ia sangat aniaya (dan) mengabaikan (dirinya sendiri)” (QS 033:073)
Penjelasan: Hamala al-Amānata berarti, ia membebankan atas dirinya atau menerima amanat; ia mengkhianati amanat itu. Zalūm adalah bentuk kesangatan dari Zalīm yang adalah fa’il atau pelaku dari Zalama, yang berarti, ia meletakkan benda itu di tempat yang salah; Zalamahū berarti, ia membebani diri sendiri dengan suatu beban yang melewati batas kekuatan atau kemampuan pikulnya. Jahūl adalah bentuk kesangatan dari kata Jahīl, yang berarti, lalai, dungu, dan alpa (Lane).
(1) Manusia dianugerahi kemampuan-kemampuan dan kekuatan fitri besar sekali untuk meresapkan dan menjelmakan di dalam dirinya sifat-sifat Ilahi untuk menayang citra (bayangan) Khalik-nya (QS.2:31). Sungguh inilah amanat agung yang hanya manusia sendiri dari seluruh isi jagat raya ini yang ternyata sanggup melaksanakannya; makhluk-makhluk dan benda-benda lainnya – para malaikat, seluruh langit (planet-planet), bumi, gunung-gunung sama sekali tidak dapat menandinginya. Mereka seakan-akan menolak mengemban amanat itu. Manusia menerima tanggungjawab ini, sebab hanya dialah yang dapat melaksanakannya. Ia mampu menjadi Zalūm (aniaya terhadap dirinya sendiri) dan Jahūl (mengabaikan diri sendiri) dalam pengertian bahwa ia dapat aniaya terhadap dirinya sendiri dalam arti bahwa ia dapat menanggung kesulitan apa pun dan menjalani pengorbanan apa pun demi Khalik-nya, dan ia mampu mengabaikan diri atau alpa dalam arti bahwa dalam mengkhidmati amanat-Nya yang agung lagi suci itu, ia dapat mengabaikan kepentingan pribadinya dan hasratnya untuk memperoleh kesenangan dan kenikmatan hidup.
(2) Jika kata al-Amānat diambil dalam arti sebagai hukum Al-Qur’an, dan kata al-Insān sebagai manusia sempurna, yakni, Rasulullah Saw, maka ayat ini akan berarti bahwa dari semua penghuni seluruh langit dan bumi, hanya Rasulullah Saw sendiri saja yang mampu diamanati wahyu yang mengandung syariat yang paling sempurna dan penutup, ialah syariat Al-Qur’an; sebab, tidak ada orang atau wujud lain yang pernah dianugerahi sifat-sifat agung yang mutlak diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawab besar ini sepenuhnya dan sebaik-baiknya.
(3) Kalau kata Hamala diambil dalam arti mengkhianati atau tidak jujur terhadap suatu amanat, maka ayat ini akan berarti bahwa amanat syariat Ilahi telah dibebankan atas manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di bumi maupun di langit. Mereka itu semua – kecuali manusia – menolak mengkhianati Amanat ini, yakni, mereka itu sepenuhnya dan dengan setia menjalankan segala hukum yang kepada hukum-hukum itu mereka harus tunduk.
Seluruh alam setia kepada hukum-hukumnya dan para malaikat juga melaksanakan tugas mereka dengan setia dan patuh (QS.16:50-51). Hanya manusia saja yang disebabkan telah dikaruniai kebebasan bertindak dan berkemauan, mau juga mengingkari dan melanggar perintah Tuhan; sebab, ia aniaya dan mengabaikan serta tidak mempedulikan tugas dan kewajibannya. Arti demikian mengenai ayat ini didukung oleh QS.41:12.
Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) menyampaikan, Ayat ini menerangkan tentang keunggulan Rasulullah Saw atas segenap nabi-nabi yang lain, karena beliau mendapat amanat dalam bentuk ajaran Al-Qur’an. Sebelum Rasulullah Saw tidak ada nabi yang memiliki kemampuan untuk memikul beban itu. Maksud amanat itu adalah Al-Qur’an. Beberapa mufasir sama sekali keliru dalam menterjemahkan ‘Zhaluman Jahula’. Yang dimaksud ‘Zhaluman’ bukanlah menganiaya orang lain, melainkan menganiaya diri sendiri yang telah memikul beban yang sangat berat.
‘Jahula’ maksudnya bukan sangat jahil, tapi ia yang memikul tanggung jawab yang sangat besar dan tidak peduli tentang akibatnya. Sebegitu banyak kezaliman yang menimpa Rasulullah Saw semuanya itu terjadi sesudah turunnya Al-Qur’an.
Alquran Surat Al-Ma’arij Ayat 33
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan mereka yang menjaga amanat-amanatnya dan janjijanjinya,” (QS 070:033)
Penjelasan: Ayat ini menjelaskan (Al-Ma’arij) ayat 36 tentang amalan yang menjadikan manusia menjadi penghuni surga
Alquran Surat Al-Jinn Ayat 29
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya: “Supaya Dia mengetahui bahwa sesungguhnya mereka telah menyampaikan amanat-amanat Tuhan mereka. Dan Dia meliputi semua yang ada pada mereka, dan Dia membuat perhitungan segala sesuatu” (QS 072:029)
Penjelasan: Wahyu rasul-rasul Tuhan itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan atau pemalsuan, sebab para rasul itu membawa tugas dari Tuhan yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh mereka.
Sabda Rasulullah (saw)
Diriwayatkan,
dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, sedangkan kebaikan akan membawa kepada surga. Tidaklah seorang bersikap jujur dan selalu berbuat jujur hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hendaklah kalian menjauhi sikap dusta, karena kedustaan itu akan membawa pada kekejian, sedangkan kekejian akan membawa kepada neraka. Dan tidaklah seorang berbuat dusta dan selalu berdusta hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (H.R. Tirmidzi).[5]
Sifat yang paling dibenci Allah adalah sifat dusta. Diriwayatkan,
…dari Aisyah ia berkata; Tidak ada akhlak yang paling dibenci Allah melebihi sifat dusta. (H.R. Tirmidzi).[6]
Kejujuran akan membuka keberkahan dari Allah. Diriwayatkan,
dari Hakim bin Hizam dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Orang yang bertransaksi jual beli berhak khiyar (memilih) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang.” (H.R. Muslim).[7]
Contoh Kejujuran
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menafsirkan QS. An-Nisa, 4:6-7 dan QS. An-Nisa, 4:10-11 tentang kejujuran,
Yakni andaikata di antara kamu ada orang yang berharta yang belum sempurna akalnya –misalnya anak yatim atau yang belum baligh– dan kamu khawatir bahwa dia akan menyia-nyiakan hartanya karena kebodohannya, maka janganlah kamu (sebagai wali) menyerahkan seluruh harta yang merupakan modal perniagaan dan penghidupan kepada mereka yang belum sempurna akalnya itu. Dan dari harta itu berikanlah seperlunya untuk makan dan pakaian mereka, dan hendaklah kamu ucapkan kepada mereka perkataan-perkataan yang baik, yakni perkataan-perkataan yang dapat meningkatkan akal dan pemahaman mereka, dan dengan demikian mereka akan memperoleh didikan yang layak, dan mereka tidak selalu menjadi terbelakang serta tidak berpengalaman. Seandainya mereka anak-anak saudagar ajarilah mereka cara-cara berniaga. Jika berasal dari suatu bidang usaha lainnya maka kokohkanlah mereka dalam bidang itu sebaik-baiknya. Pendeknya, berilah secara bersamaan pelajaran kepada mereka dan secara berkala ujilah pengetahuan mereka, apakah mereka sudah memahami segala sesuatu yang kamu ajarkan atau belum? Kemudian, kalau mereka sudah layak menikah —yakni sudah mencapai usia kurang lebih delapan belas tahun— dan kamu lihat bahwa akal mereka telah mampu mengelola harta mereka sendiri, maka serahkanlah kepada mereka harta mereka itu. Dan janganlah kamu membelanjakan harta mereka dengan tujuan yang sia-sia, serta jangan kamu tergesa-gesa merugikan harta mereka dengan mengkhawatirkan bahwa mereka akan dewasa sehingga mereka akan mengambil alih harta mereka. Barangsiapa yang kaya hendaknya jangan mengambil sebagian dari harta itu sebagai imbal jasa. Akan tetapi yang kurang mampu dapat mengambil sepantasnya.
Di kalangan bangsa Arab zaman dahulu terdapat suatu cara yang lazim bagi para pengurus harta, yaitu jika pengurus anak-anak yatim ingin mengambil dari harta anak-anak itu maka sedapat mungkin hendaknya mereka mentaati kaidah ini, yaitu mereka mengambil laba dari hasil usaha perputaran harta anak-anak yatim itu dan jangan menghancurkan modal pokoknya. Jadi, ke arah tradisi inilah diisyaratkan supaya kalian pun menerapkan demikian. Kemudian Dia berfirman bahwa, “Apabila kamu hendak mengembalikan harta kepada anak-anak yatim maka serahkanlah harta mereka itu di hadapan saksi-saksi.
Dan barangsiapa hampir meninggal dunia sedangkan anak-anaknya masih lemah serta di bawah umur, maka hendaklah mereka jangan membuat wasiyat yang akan mengabaikan hak anak-anaknya. Barangsiapa memakan harta anak-anak yatim sehingga mengakibatkan aniaya terhadap anak-anak yatim tersebut maka mereka bukanlah memakan harta melainkan api, dan pada akhirnya mereka akan dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala.[8]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga menafsirkan QS. Al-Baqarah, 2:189, QS. An-Nisa, 4:59, QS. Al-Anfal 8:59, QS. Bani Israil, 17:36, QS. Asy-Syu’ara 26:184, QS. AnNisa 4:3,
Yakni, janganlah kamu memakan harta-benda kepunyaan sesama kamu dengan jalan tidak sah. Dan jangan kamu memberikan harta kamu kepada petugas pemerintah sebagai suapan sehingga dengan bantuan si petugas itu kamu menguasai harta orang lain. Serahkan amanat-amanat itu kepada orang-orang yang berhak memilikinya. Allah tidak bersahabat dengan orang-orang yang berkhianat. Apabila kamu menakar sesuatu maka takarlah dengan sempurna, dan apabila kamu menimbang sesuatu maka timbanglah dengan sempurna dan dengan timbangan yang benar. Dan janganlah kamu merugikan orang lain mengenai hartanya dengan cara apa pun. Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan niat mengadakan kekacauan, yakni dengan niat mencuri atau merampok atau mencopet atau menguasai harta milik orang lain dengan cara-cara tidak sah. Janganlah kamu pertukarkan barang-barang yang buruk dan yang jelek sebagai ganti barang-barang yang baik. Yaitu seperti halnya menguasai barang kepunyaan orang lain tidak dibenarkan, demikian pula tidak dibenarkan menjual barang yang buruk, atau janganlah kamu berikan barang yang buruk dan jelek sebagai ganti yang baik. Yakni seperti itu pula tidak dibenarkan menguasai harta milik orang lain, begitu pula tidak dibenarkan menjual barang yang buruk, memberikan yang buruk sebagai ganti yang baik.[9]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga menafsirkan QS. AlHajj 22:31, QS. Al-Baqarah 2:283, QS. Al-Baqarah 2:284, QS. Al-An’am 6:153, QS. An-Nisa 4:136, QS. Al-Maidah 5:9, QS. AlAhzab 33:36, QS. Al-Asr 103:4, dan QS. Al-Furqan 25:73
Yakni, jauhilah perbuatan menyembah berhala-berhala dan berkata dusta. Yakni dusta pun merupakan sebuah berhala, orang yang bertumpu padanya berarti telah melepaskan tumpuan (tawakal) terhadap Allah. Jadi, dengan berkata dusta Tuhan pun terlepas dari tangan. Dan kemudian difirmankan, apabila kamu dipanggil untuk memberikan kesaksian yang benar (jujur) maka janganlah kamu menolak untuk pergi. Dan janganlah kamu sembunyikan kesaksian yang benar dan barangsiapa yang menyembunyikan berdosalah hatinya. Dan apabila kamu berkata maka ucapkanlah sama sekali kata-kata yang jujur serta adil, sekali pun kesaksian yang kamu berikan itu untuk salah seorang kerabat kamu. Berdirilah kamu di atas kebenaran serta keadilan dan hendaklah tiap-tiap kesaksian kamu adalah karena Allah, jangan kamu berkata dusta walaupun dengan berkata jujur/lurus itu jiwa kamu akan mendapat kerugian, atau dengan itu ibu-bapak kamu serta kerabat kamu –seperti anak dan sebagainya– akan mendapat kemudaratan. Dan hendaknya permusuhan terhadap suatu kaum tidak menghalangi kamu untuk memberikan kesaksian yang jujur/lurus. Laki-laki yang lurus hati dan perempuan-perempuan yang lurus hati akan mendapat pahala-pahala yang besar. Kebiasaan mereka adalah menasihati orang lain agar lurus hati. Mereka tidak ikut di dalam majlis-majlis para pendusta.[10]
Referensi
- ↑ 1,0 1,1 Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 53
- ↑ Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 54
- ↑ Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jujur
- ↑ 4,0 4,1 Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 80
- ↑ Hadits Jami’ At-Tirmidzi, Kitab Berbakti dan menyambung silaturrahim, Bab Jujur dan bohong
- ↑ Hadits Jami’ At-Tirmidzi, Kitab Berbakti dan menyambung silaturrahim, Bab Jujur dan bohong
- ↑ Hadits Shahih Muslim, Kitab Jual beli, Bab Jujur dalam jual beli
- ↑ Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 55-57
- ↑ Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 58-59
- ↑ Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Neratja Press, Cetakan ke-5: Jakarta, Januari 2016, hlm. 82