Ayat Pertama
Allah Ta'ala berfirman,
...arti... (QS Ali 'Imran 3:93)
Seberapa besar kecintaan untuk mengkhidmati agama dalam diri kita dan apakah ada antusiasme dalam diri kita untuk melakukan itu? Kemudian Hazrat Aqdas Masih Mauud as besabda pada satu kesempatan, Di dunia ini, manusia sangat mencintai kekayaan, oleh karena itu tertulis dalam ilmu Tabir mimpi bahwa jika seseorang bemmimpi melihat dirinya mengeluarkan hatinya dan memberikannya kepada seseorang, maka itu berarti kekayaan. Inilah alasan mengapa untuk meraih ketakwaan dan keimanan hakiki difirmankan
Kamu tidak akan pernah mencapai kebaikan sempurna, hingga kamu menginfakkan sebagian dari apa yang paling kamu cintai, karena sebagian besar dari kasih sayang dan perlakuan terhadap makhluk Tuhan menyiratkan perlunya membelanjakan harta, dan kasih sayang untuk umat manusia dan makhluk Tuhan adalah salah satu komponen keimanan, yang tanpanya keimanan tidak sempurna dan kokoh. Sebelum seseorang mempersembahkan pengorbanan, bagaimana ia bisa bermanfaat bagi orang lain? untuk memberikan manfaat dan kasih sayang kepada orang lain pengorbanan diperlukan, dan dalam ayat ini,
Diberikan ajaran dan petunjuk untuk berkorban.[1]
Hadhrat Masih Mau'ud (as) ini, beliau menyatakan: "Saya katakan lagi dan lagi, Allah sama sekali tidak membutuhkan pengkhidmatan kalian, tetapi merupakan karunia besar bagi Anda bahwa Dia telah memberi Anda kesempatan untuk mempersembahkan pengorbanan." [1]
Ayat Kedua
(ayat tentang Nabi Ibrohim mengkhidmati tamu)
Al-Quran secara khusus mengatakan pentingnya pengkhidmatan. Kitab itu menjelaskan mengenai pengkhidmatan Hadhrat Ibrahim as dimana disebutkan tentang kedudukan dan kualitas beliau as dalam berkhidmat. Tuan rumah yang melayani para tamu tanpa pamrih dan melakukannya dengan segera setelah menerima tamu akan dimuliakan oleh Tuhan, karena mereka mengerti bahwa dengan mengkhidmati tamu mereka akan mendapatkan ridha Tuhan. [2]
Ayat Ketiga
Saya senantiasa berdoa dan selalu kupanjatkan doa ini tanpa putus bahwa saya tidak memerlukan anak keturunan jika mereka tidak menjadi orang yang mengkhidmati agama, dan saya berdoa, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik doa ini sampai akhir nafasku.[2]
Adalah tidak mengapa bahwa orang-orang bekerja di berbagai sektor pemerintahan untuk menutupi keperluan-keperluan Jemaat. Namun, mereka hendaknya membuktikan dengan keikhlasan mereka berupa keyakinan bahwa mereka menempati pekerjaan duniawi ini bukan untuk hawa nafsu pribadinya sendiri, melainkan demi Allah Ta’ala semata. Artinya, mereka hendaknya setiap saat siap untuk berangkat kapan saja agama memerlukan mereka untuk datang, mereka meninggalkan segala-galanya dan datang untuk mengkhidmati agama.[2]
Ringkasnya, bersamaan dengan mengkhidmati agama, kita hendaknya tidak menganggap kita sedang berkorban. Melainkan, kita hendaknya menganggap itu merupakan ihsaan Allah Ta’ala bahwa Dia sedang menganugerahkan kepada kita pekerjaan bagi agama-Nya. Jika kalian tidak memahami hakikat ini, jika kalian tidak dapat menanggung diri menjadi faqir demi agama, jika kalian tidak dapat merasa bahagia meminta-minta demi agama, jika kalian tidak menganggap pengkhidmatan sebagai tugas yang lebih mulia daripada kerajaan seluruh dunia, maka iman sebesar biji sawi pun dalam diri kalian tidak dapat dianggap ada.[2]
Jika agama merupakan perkara yang berharga, jika agama milik Tuhan, maka manakala seorang penyeru dari Tuhan memanggil, “Ayolah, kita berkumpul pada agama Ilahi!”, maka orang yang mengatakan labbaik (siap!) atas seruan tersebut tidak melakukan sesuatu pengorbanan, melainkan dia mendapatkan bagian dari ihsan (anugerah kebaikan) Allah Ta’ala, kehalusan dan kemuliaan-Nya. Jika dia menganggap, walaupun hanya satu menit saja, bahwa dia sedang berkorban, tak ragu lagi adanya kemunafikan dalam dirinya. Oleh karena itu, jika seorang diantara kalian berpikir sedang berkorban ketika mengkhidmati agama, dia tidak memiliki iman. Lebih baik baginya menjauh dari jalan pengkhidmatan. Namun, jika siapa yang dianggap hina oleh dunia, kalian anggap sebagai terhormat. Siapa yang dianggap pengangguran oleh dunia, kalian anggap sebagai aktif bekerja dan apa yang dianggap oleh dunia sebagai pengorbanan, kalian memahaminya sebagai anugerah; barulah kalian dapat disebut orang beriman sejati.[2]
Sungguh, pekerjaan dan tanggung jawab kita yang terpikul di pundak kita perihal pengkhidmatan agama demikian sangat agung, kendatipun bersamaan dengan itu saya sangat menyayangkan bahwa hati kita tidak dapat membayangkannya sejauh mana. Saya melihat, orang-orang yang aktif berkhidmat demi agama beranggapan bahwa mereka telah melakukan pengorbanan dan bersamaan dengan itu pengorbanan tersebut dianggap perkara yang lebih mulia sebagaimana tadi telah saya jelaskan. Jika seseorang bekerja di jalan agama adalah pengorbanan, maka hal itu berarti agama itu adalah hal yang lebih hina dibanding orang tersebut yang telah melakukan pengorbanan di jalan agama. Padahal kenyataannya jika kita menyangka walau dalam sedetik saja bahwa kita mempersembahkan pengorbanan di saat kita bekerja demi agama, maka sesungguhnya kita mahrum (luput) dari keimanan dan bashirah (pandangan kerohanian).[2]
Hadhrat Masih Mau'ud (as) juga bersabda, "Kalian hendaknya memberikan sebagian dari harta kalian di jalan agama untuk mengkhidmati agama, barulah kemudian keimanan yang sejati dapat diketahui." [3]
Ayat Ketiga
Beliau as kemudian bersabda, “Jadi, sekarang ini perlu raihlah ilmu-ilmu modern dengan bertujuan untuk mengkhidmati agama dan meninggikan kalimat Allah.” (Raihlah ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk digunakan bagi penyebarluasan agama.) “Dan raihlah itu dengan upaya dan kerja keras.” (Rajin-rajinlah dalam meraih ilmunya. Majukanlah bidang sains. Pergilah melakukan riset. Secara khusus saya (Hudhur V atba) berkata kepada para mahasiswa Ahmadi saat ini, ‘Berusahalah mengarah pada hal itu. Ini juga adalah sarana untuk tabligh dan sarana untuk menyebarluaskan kebaikan-kebaikan. Tatkala ilmu telah diraih, ilmu dunia adalah ilmu modern saat ini, ilmu sains, bilamana itu semua telah diraih maka akan sangat banyak tambahan jalan yang akan terbuka.’). [4]
Ayat Keempat
Pidato Khalifah ‘Umar (ra) perihal kemenangan kaum Muslimin dan sikap-sikap yang beliau wantiwantikan pada mereka. Kemenangan lahiriah berupa banyaknya kemenangan dalam peperangan adalah suatu hal yang dulu sering terjadi di banyak bangsa-bangsa. Yang amat dikhawatirkan ialah perubahan keruhanian pada umat Muslim. Bila terjadi demikian, akan Tuhan datangkan kaum lain yang lebih patut mengkhidmati agama.[5]
Ayat Kelima
Allah Ta'ala berfirman,
"Sungguh dibenci dalam pandangan Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (QS Ash Shaf: 61:4)
Hadhrat Masih Mau’ud as juga bersabda : "Ingatlah hanya kata-kata belaka tidak akan berhasil kecuali didukung oleh amalan. Kata-kata belaka tidak memiliki nilai dalam pandangan Allah, oleh karena itu, Allah Ta’ala telah menyatakan: "Sungguh dibenci dalam pandangan Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan"
Hadhrat Masih Mau’ud as mengajarkan bahwa jika seseorang ingin mengkhidmati Islam, pertama dia harus menjalankan ketakwaan. Dia berfirman:
bersabarlah dan berusahalah untuk unggul dalam kesabaran...' (QS Ali 'Imran [3]:201)
Sama seperti perlu memiliki kuda di garis depan sehingga musuh tidak melewati batas, kalian juga harus siap, jangan sampai musuh melewati garis depan dan merugikan Islam. Saya telah mengatakan ini sebelumnya bahwa jika kalian ingin memajukan dan mengkhidmati Islam, pertama jalankan ketakwaan dan kesucian yang dengannya kalian dapat masuk ke dalam perlindungan teguh Allah Ta’ala dan kemudian mendapat hak mengkhidmati Islam. Kalian lihat betapa telah lemahnya kekuatan luar umat Muslim. Bangsa-bangsa melihat mereka dengan kebencian dan penghinaan. Jika kekuatan batin kalian juga melemah dan terkalahkan, maka anggaplah bahwa ini sudah habis. Karena itu, kalian harus memurnikan jiwa kalian supaya kekuatan kesucian meresapinya dan jiwa kalian menjadi kuat dan protektif seperti kuda di garis depan (perbatasan).
Karunia Allah Ta’ala selalu beserta orang bertakwa dan jujur. Jangan menjadikan akhlak dan cara hidup kalian sedemikian rupa sehingga mereka menyebabkan cacat pada [nama] Islam.[6]
Ayat Keenam
Allah Ta'ala berfirman,
...arti... (QS Al-Baqarah, 2:202)
Islam tidak melarang kenikmatan-kenikmatan jasmani, melainkan menasehati agar mendahulukan agama diatas duniawi meski hidup di dunia. Hadhrat Masih Mau’ud as juga bersabda tentang itu: “Islam tidak mengizinkan cara hidup biarawan karena yang demikian perbuatan pengecut. Tidak peduli seberapa jauh seorang mukmin terlibat di dalam urusan duniawi, namun hal tersebut senantiasa menjadi sumber untuk memperoleh kedudukan rohaniah yang lebih tinggi karena tujuan sejatinya adalah agama. Sedangkan dunia dengan segala kekayaan dan kemegahannya merupakan sarana untuk mengkhidmati agama.
Perkara utamanya adalah dunia hendaknya tidak menjadi tujuan akhir baginya namun maksud sebenarnya meraih tujuan-tujuan duniawi adalah demi mengkhidmati agama. Seperti halnya berpergian, seseorang menggunakan sarana transportasi dan perbekalan dengan maksud agar sampai di suatu tempat tujuan. Transportasi dan perbekalan merupakan hal yang bersifat insidentil. Jadi, hendaknya ia mencari dunia dengan cara yang sama yakni sebagai sarana untuk mengkhidmati agama.
Allah telah mengejarkan kita doa, ‘Ya Tuhan kami, berilah kami segala yang baik di dunia dan segala yang baik di akhirat...’ [Al-Baqarah, 2:202] Ayat ini juga mendahulukan urusan dunia. Tetapi, urusan dunia yang mana? Yakni ‘segala kebaikan dunia’ yang merupakan penyebab kebaikan di Akhirat. Ajaran yang terkandung di dalam doa ini secara jelas menunjukan seorang mukmin hendaknya memperhatikan kebaikan akhirat ketika mencari tujuan-tujuan duniawi.
Istilah "fid-dunyaa hasanah" mencakup segala sarana terbaik untuk mencari dunia yang hendaknya dijalankan/dipilih oleh seorang mukmin demi meraih tujuan-tujuan duniawi. Carilah tujuan-tujuan duniawi dengan segala sarana tersebut yang hanya menghasilkan kebaikan dan bukan sarana-sarana yang menyebabkan timbulnya penderitaan atau rasa malu bagi manusia lain. Meraih dunia yang seperti ini tidak diragukan lagi akan menjadi sumber untuk mencapai kebaikan di akhirat.” [7] [8]
Ayat Ketujuh
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyampaikan mengenai jika ingin panjang umur, sibukkanlah diri dengan bertabligh. Beliau bersabda: “Banyak orang tidak mengetahui untuk tugas dan tujuan apa mereka datang ke dunia ini. Sebagian dari mereka pekerjaannya hanya makan-minum layaknya hewan. Mereka beranggapan, makan daging sekian, berapa pakaian yang dia pakai dan lain lain, tanpa memperdulikan dan memikirkan hal-hal lainnya. Orang yang seperti ini ketika dicengkeram hukuman, seketika itu juga tamat. Namun orang yang sibuk dalam mengkhidmati agama, mereka diperlakukan lembut selama ia belum menyelesaikan pekerjaan dan pengkhidmatannya itu.
Jika manusia menginginkan berumur panjang, sedapat mungkin secara tulus wakafkanlah umurnya semata-mata demi pengkhidmatan agama. Ingatlah! Allah Ta’ala tidak akan tertipu. Orang yang berupaya menipu Allah Ta’ala, berarti dia menipu dirinya sendiri dan dia akan binasa karena hukuman-Nya.
Tidak ada resep yang lebih baik untuk memanjangkan umur selain menyibukkan diri dalam meninggikan kalimah Islam disertai dengan keikhlasan dan kesetiaan serta menyibukkan diri dalam mengkhidmati agama. Pada masa ini resep tersebut sangatlah manjur karena saat ini agama memerlukan pengkhidmat-pengkhidmat yang mukhlis, jika hal tersebut tidak ada, umurnya tidak dapat dipastikan, berlalu begitu saja.” [9][10]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menekankan pentingnya pengkhidmatan Islam, beliau bersabda: “Waktu sekarang sempit. Saya berkali-kali nasihatkan jangan ada pemuda yang merasa yakin dia masih berumur 18 atau 19 tahun dan beranggapan umurnya masih sangat panjang. Orang yang merasa sehat, janganlah berbangga dengan kesehatan dan kebugarannya. Begitu juga jika ada orang yang keadaannya baik, janganlah merasa bangga akan kebesarannya itu. Zaman tengah mengalami satu perubahan, ini merupakan akhir zaman.[10]
Ayat Kedelapan
...ayat tentang baiat...
Apa itu tujuan hakiki baiat? Beliau as bersabda: “Tempuhlah jalan takwa, bacalah Quran Syarif dengan perenungan yang dalam, tadabburilah dan amalkanlah. Karena demikianlah sunnah Allah yakni Dia tidak lantas akan ridha dengan perkataan dan pernyataan saja, melainkan untuk meraih keridhaan Ilahi adalah penting untuk mengikuti hukum-hukum-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Hindarilah hal hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Jelas kita menyaksikan manusia pun tidak lantas bahagia dengan ucapan saja melainkan akan bahagia dengan pengkhidmatan.” [10]
Ayat Kesembilan
Allah Ta’ala ingin menguji pendusta dan orang yang benar. Ini adalah saatnya untuk memperlihatkan ketulusan dan kesetiaan dan diberikan kesempatan terakhir. Kesempatan ini tidak akan kembali lagi. Pada zaman inilah waktu penghujung bagi nubuatan semua Nabi. Maka dari itu, ini merupakan kesempatan terakhir yang diberikan kepada manusia untuk memperlihatkan ketulusan dan berkhidmat. Setelah itu tidak ada kesempatan lain lagi, sangat merugilah orang yang luput dari kesempatan ini.”
Referensi
- ↑ 1,0 1,1 https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20230106-ID.pdf
- ↑ 2,0 2,1 2,2 2,3 2,4 2,5 https://alislam.org/archives/sermons/summary/FST20140829-ID.pdf
- ↑ https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20220107-ID.pdf
- ↑ https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20120120-ID.pdf
- ↑ https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20210827-ID.pdf
- ↑ https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FSS20140207-ID.pdf
- ↑ Malfuzat jilid 2, hal. 91-92, Edisi 1985, Terbitan UK
- ↑ https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FSS20160101-ID.pdf
- ↑ Malfuuzhaat, jilid 6, h. 329, edisi 1985, terbitan UK
- ↑ 10,0 10,1 10,2 https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20180406-ID.pdf