Mi'raj dan Isra: Perbedaan revisi
(Artikel rintisan) |
(Tidak ada perbedaan)
|
Revisi per 5 Maret 2022 02.21
Mi'raj dan Isra adalah satu pengalaman ruhani
Mi'raj
Allah Ta'ala berfirman:
Dan, Dia mewahyukan kalam-Nya ketika ia berada di atas ufuk tertinggi. [*] Kemudian ia, Rasulullah, mendekati Allah, lalu Dia, Allah, kian dekat kepadanya, [*] Maka jadilah ia, seakan-akan, seutas tali dari dua buah busur, atau lebih dekat lagi. [*] Kemudian Dia mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang telah Dia wahyukan. [*] Hati Rasulullah tidak berdusta apa yang dia lihat [*] Maka, apakah kamu membantah tentang apa yang telah dia lihat? [*] Dan, sesungguhnya, dia melihat-Nya kedua kali, [*] Dekat pohon Sidrah tertinggi, [*] Yang didekatnya ada surga, tempat tinggal. [*] Ketika pohon Sidrah ditutupi oleh sesuatu yang menutupi, [*] Penglihatannya tidak menyimpang dan tidak pula melantur. [*] Sesungguhnya, ia melihat satu Tanda besar dari Tanda-tanda Tuhan-Nya. [*] -- Alquran Surah An Najm (53):8-19
Tafsir 2874 -- Rasulullah saw. telah mencapai batas tertinggi dalam mi'raj beliau, ketika Tuhan menampakkan wujud-Nya kepada beliau dengna kebenaran dan keangungan yang sempurna. Atau, ayat ini dapat berarti, bahwa cahaya Islam ditempatkan pada suatu tempat yang amat tinggi dan dari tempat itu dapat menyinari seluruh dunia. Kata pengganti huwa dapat menunjuk kepada Tuhan dan kepada Rasulullah saw. -- (Lihat juga ayat 10).
Tafsir 2875 -- Dalla al-dalwa berarti ia menurunkan ember ke dalam perigi, ia menarik ember ke atas atau keluar dari perigi, Tadalla berarti, ia atau sesuatu itu merendah atau menurun; ia menghampiri atau mendekati atau kian dekat (Lane dan Lisan). Ayat ini berarti, bahwa Rasulullah saw. mendekati Tuhan dan Tuhan condong kepada beliau. Ayat itu dapat juga berarti, bahwa Rasulullah saw. mencapai kedekatan yang sedekat-dekatnya kepada Tuhan, dan setelah minum dengan sepuas-puasnya di sumber mata air ilmu-keruhanian Ilahi, beliau turun kembali dan memberikan ilmu kepada segenap umat manusia.
Tafsir 2876 -- Qaab berarti, (1) bagian busur antara bagian yang dipegang oleh tangan dan ujungnya yang berlengkungan (2) dari satu busur ke ujung busur yang lain; (3) ukuran atau ruang. Orang Arab berkata, Bainahumaa qaaba qausaini, yakni di antara mereka berdua adalah seukuran busur, yang berarti, bahwa perhubungan di antara mereka sangat akrab.
Peribahasa Arab yang mengatakan, ramaunaa ‘an qausin waahidin, yakni, mereka memanah kamu dari satu busur, yakni, bahwa mereka seia-sekata melawan kami. Oleh karena itu, kata itu menyatakan kesepakatan sepenuhnya (Lane , Lisan, dan Zamakhasyari). Apa pun kandungan arti kata qaab itu, ungkapan qaaba qausaini menyatakan perhubungan yang sangat dekat antara dua orang. Ayat ini bermaksud bahwa Rasulullah saw. terus menaiki jenjang-jenjang ketinggian mikraj dan menhampiri Tuhan sehingga jarak antara keduanya hilang sirna dan Rasulullah saw. seolah-olah menjadi "seutas tali dari dua busur". Peribahasa ini mengingatkan kita kepada suatu kebiasaan orang-orang Arab kuno. Menurut Kebiasaan itu, bila dua orang mengikat janji persahabatan yang kokoh kuat mereka biasa menyatupadukan busur-busur mereka dengan cara demikian, sehingga busur-busur itu nampak seperti satu dan kemudian mereka melepaskan anak panah dari busur yang telah dipadukan itu; dengan demikian mereka menyatakan bahwa mereka itu seakan-akan telah menjadi satu wujud, dan bahwa suatu serangan terhadap yang seorang akan berarti serangan terhadap yang lainnya juga. Bila kata tadalla diangap mengenai Tuhan, maka ayat ini akan berarti, bahwa Rasulullah saw. naik menuju Tuhan dan Tuhan turun kepada beliau, sehingga kedua-duanya seolah-olah telah menyatu menjadi satu wujud. Ungkapan ini mengandung pula arti lain yang sangat indah dan halus, yaitu, bahwa sementara di satu pihak Rasulullah saw. menjadi sama sekali terbenam dalam Tuhan serta Pencipta-nya, sehingga beliau seakan-akan menjadi bayangan Tuhan sendiri, maka di pihak lain, beliau turun kembali kepada umat manusia dan menjadi begitu penuh cinta dan dengan rasa kasih serta merasa prihatin akan mereka, sehingga sifat keutuhan dan sifat kemanusiaan menjadi terpadu dalam diri beliau, dan beliau menjadi titik-pusat tali kedua busur ketuhanan dan kemanusiaan. Kata-kata "atau lebih dekat lagi" mengandung arti bahwa perhubungan antara Rasulullah saw. dan Tuhan menjadi kian dekat dan kian mesra lebih daripada yang dapat dibayangkan pikiran.
Ayat-ayat 8 sampai ke 18 menggambarkan mikraj Rasulullah saw. ketika beliau secara ruhani dibawa ke langit dan dianugerahi pemandangan – suatu penjelmaan – ruhani Tuhan, dan secara ruhani, beliau naik sampai dekat sekali kepada khalik-nya. pada hakikatnya, mikraj merupakan dua pengalaman ruhani; kenaikan ruhani Rasulullah saw. dan turunnya tajalli (penampakan kebesaran) Tuhan kepada beliau. Dalam pikiran umum, Mikraj telah dicampurbaurkan dengan isra’ (perjalanan Rasulullah saw. pada waktu malam ke Yerusalem), sedangkan masing-masing berlainan dan terpisah waktu terjadinya. Isra: terjadi pada tahun ke-11 atau ke-12 tahun Nabawi (Zurqani) , padahal Rasulullah saw. telah lebih dahulu mikraj pada tahun ke-5, tidak lama sesudah hijrah pertama ke Abessinia, enam atau tujuh tahun sebelum terjadi isra’. Penelaahan seksama dan teliti mengenai rincian kedua peristiwa itu, sebagaimana disebut-sebut di dalam hadis, juga mendukung pendapat ini. Untuk keterangan agak terinci tentang kedua peristiwa – mikraj dan isra’ – itu merupakan kejadian ang terpisah dan berbeda satu sama lain, lihat catatan tafsir no 1590.
Tafsir 2877 -- Maa kadang-kadang dipergunakan untuk menyatakan kehormatan, keherananm atau untuk memberikan tekanan arti (kamus Aqrab). Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan menurunkan wahtu kepada hamba-Nya, dan alangkah bagus lagi hebatnya wahyu itu!
Tafsir 2878 -- Hakikatnya, ialah, apa yang telah dilihat oleh Rasulullah saw. adalah pengalaman hakiki; pengalaman itu kebenaran sejati dan bukan tipuan khayal beliau.
Tafsir 2879 -- Kasyaf Rasulullah saw.-itu suatu pengalaman ruhani berganda.
Tafsir 2880 -- Pada waktu mikraj Rasulullah saw. telah mencapai martabat qurb Ilahi (kedekatan kepada Allah) demikian tinggi, sehingga sungguh berada di luar jangkauan otak manusia untuk memahaminya; atau ayat ini dapat berarti bahwa pada martabat itu terbentang di hadapan beliau samudera luas tanpa tepi – samudera makrifat Ilahi dan hakikat-hakikat serta kebenaran-kebenaran abadi; sadir ang diambil dari akar kata yang sama, berarti bahwa makrifat Ilahi, yang dilimpahkan kepada Rasulullah saw. akan seperti halnya pohon Sidrah, memberikan kesenangan dan naungan kepada para musafir ruhani yang merasa kakinya lebih dan payah. Lebih-lebih karena daun pohon Sidrah memiliki khasiat mengawetkan mayat dari proses pembusukan, ayat ini dapat berarti, bahwa jaran yang diwahyukan kepada Rasulullah saw. tidak hanya kebal terhadap bahaya kerusakan, melainkan juga baik sekali guna menolong dan memelihara umat manusia terhadap kerusakan. Atau, ayat ini mengandung khabar gaib yang mengisyaratkan kepada sebatang pohon, yang di bawah pohon itu para sahabat Rasulullah saw. mengikat janji setia kepada beliau pada peristiwa Perjanjian Hudaibiyah.
Tafsir 2881 -- Kata-kata "yang menutupi," maknanya ialah, penjelmaan Ilahi.
Dalam satu riwayat tertulis,
Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah telah menceritakan kepadaku Sulaiman dari Syarik bin Abdullah berkata, "Aku mendengar Anas bin Malik berkata, "Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diisra'kan dari masjid Ka'bah, beliau didatangi oleh tiga orang -yang ketika itu beliau belum menerima wahyu- ketika di masjidil haram. Laki-laki pertama berkata, 'Mana orangnya? ' Laki-laki kedua berkata, 'Itu, orang terbaik di antara mereka! ' Lantas laki-laki ketiga berkata, 'Ambillah orang terbaik mereka', pada malam itu beliau tidak bisa melihat mereka bertiga. Hingga pada malam berikutnya mereka mendatangi beliau lagi, yang ketika itu hati (beliau) melihat, mata beliau tidur namun tidak untuk hatinya. Demikian pula para nabi, mata mereka tertidur namun hati mereka tidak tidur. Para malaikat itu tidak mengajak bicara beliau hingga mereka membawa dan meletakkan beliau di sisi sumur zamzam, Jibril lantas memimpin mereka untuk menyucikan nabi. Jibril kemudian membelah antara tenggorokan beliau hingga pangkal lehernya, sampai dadanya dan perutnya. Jibril kemudian memandikan beliau dengan air zamzam dengan tangannya hingga sampai pada bagian perut, setelah itu didatangkanlah bejana besar dari emas yang di dalamnya ada bejana yang terbuat dari tanah liat dari emas yang diisi dengan keimanan dan hikmah. Dengannya, Jibril mengisi dada dan urat-urat kerongkongannya lalu menjahitnya kembali. Kemudian Jibril membawanya ke langit dunia dan ia ketuk salah satu pintunya sehingga penghuni langit bertanya, 'Siapakah ini? ' Jibril berkata, 'Para malaikat bertanya, 'Siapa yang bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Bersamaku Muhammad.' Penghuni langit bertanya, 'Dia telah diutus? ' Jibril menjawab, 'Benar.' Penghuni langit lalu berkata, 'Selamat datang, selamat atas kunjungannya.' Maka penghuni langit sedemikian bergembira, mereka tidak tahu apa yang Allah inginkan terhadap diri Muhammad di muka bumi, hingga Allah memberitahu mereka. Lantas di langit dunia nabi bertemu Adam, Jibril memperkenalkan kepada beliau, 'Ini adalah ayahmu, Adam. Ucapkanlah salam kepadanya. Dia (Muhammad) lalu mengucapkan salam yang kemudian dijawab oleh Adam seraya, 'Selamat datang, selamat berkunjung wahai anakku, sungguh engkau anak yang terbaik.' Ternyata di langit dunia ada dua sungai yang mengalir, Nabi Muhammad bertanya, 'Dua sungai apa ini wahai Jibril? ' Jibril menjawab, 'Ini adalah Nil dan Eufrat.' Kemudian Jibril terus membawa Nabi ke langit, tiba-tiba ada sungai lain yang di atasnya ada istana dari mutiara dan intan, Nabi memukulnya dengan tangannya, tiba-tiba baunya seperti minyak wangi adlfar. Nabi bertanya, 'Ini apa wahai Jibril? ' Jibril menjawab, 'Ini adalah telaga al Kautsar yang sengaja disimpan oleh Tuhanmu untukmu.' Kemudian Jibril membawanya naik ke langit kedua, dan malaikat bertanya kepadanya seperti yang ditanyakan malaikat pada langit pertama. Mereka bertanya, 'Siapa ini? ' Jibril menjawab, 'Ini Jibril.' Mereka bertanya lagi, 'Dan siapa ini yang bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.' Mereka bertanya, 'Apakah dia telah diutus? ' Jibril menjawab, 'Benar.' Malaikat (langit tersebut) lalu berkata, 'Selamat datang, selamat atas kunjungannya.' Jibril kemudian membawanya naik ke langit ketiga dan para malaikat bertanya kepadanya sebagaimana yang ditanyakan malaikat di langit pertama dan kedua, kemudian Jibril membawanya naik ke langit keempat, dan mereka bertanya seperti halnya pertanyaan malaikat sebelumnya, setiap langit berisikan para nabi yang Jibril sebutkan nama-namanya. Dan seingatku di antara mereka ada Idris di langit kedua, Harun di langit keempat, dan lain di langit ke lima yang aku tak hapal namanya, Ibrahim di langit keenam, dan Musa di langit ketujuh karena diberi kelebihan bisa berbicara langsung dengan Allah. Lantas Musa berkata, 'Wahai Rabb, setahuku tak ada orang yang lebih ditinggikan daripada aku, ' kemudian Jibril membawanya naik di atas kesemuanya yang tidak satupun yang tahu selain Allah hingga tiba di Sidratul Muntaha. Kemudian Jibril mendekati Allah, Al Jabbar, Rabb pemilik kemuliaan, Nabi terus mendekat hingga jarak antara keduanya sebatas dua busur panah atau lebih dekat lagi, dan Allah memberinya wahyu, yang di antara wahyunya, Allah mewajibkan lima puluh kali shalat untuk umatmu (Muhammad) siang-malam. Kemudian Nabi turun hingga bertemu Musa, Musa menahannya dan berkata, 'Hai Muhammad, apa yang diikrarkan Tuhanmu kepadamu? ' Nabi menjawab, 'Allah mewajibkan aku untuk mendirikan lima puluh kali shalat sehari semalam.' Musa berkata, 'Umatmu tak bakalan kuat melakukan sedemikian itu, kembalilah kamu agar Tuhanmu memberi keringanan untkmu dan umatmu.' Maka Nabi menoleh ke Jibril seolah-olah meminta saran tentang saran Musa, dan Jibril memberi isyarat, 'Silahkan, kalau kau berkenan.' Maka Jibril kembali menaikannya ke Allah Yang Maha Jabbar yang ketika itu masih berada di singgahsana-Nya, Nabi katakan, 'Wahai Rabb, berilah kami keringanan, sebab umatku tak bakalan mampu melakukan shalat lima puluh kali dalam sehari! ' Lantas Allah mengurangi sepuluh kali, dan Nabi kembali bertemu Musa dan Musa menahannya, Musa terus-menerus membujuknya agar Nabi menegoisasi ulang kepada Rabbnya, sehingga Allah hanya mewajibkan lima kali shalat sehari-semalam. Musa kemudian menahannya ketika kewajiban shalat tinggal lima, Musa mengatakan, 'Hai Muhammad, pernah aku membujuk Bani Israil, kaumku, untuk suatu yang lebih rendah daripada ini namun mereka meninggalkannya, padahal umatmu lebih lemah fisiknya, badannya, hatinya, pandangan dan pendengarannya, maka temuilah kembali Rabbmu agar Dia memberi keringanan.' Dan atas semua instruksi itu, Nabi menoleh kepada Jibril untuk memberi saran, namun Jibril tidak membenci atas itu semua. Lantas Jibril kembali membawanya naik untuk kali kelima, lalu Nabi berkata, 'Ya Rabb, umatku adalah orang-orang lemah fisiknya, hatinya, pendengarannya, pandangannya, dan badannya, maka berilah kami keringanan.' Allah Yang Maha Jabbar menjawab, 'Hai Muhammad! ' Nabi menjawab, 'Aku penuhi panggilan-Mu.' Allah meneruskan firman-Nya, 'Sesungguhnya tidak ada lagi pergantian titah-Ku sebagaimana Aku wajibkan atasmu dalam ummul kitab.' Allah meneruskan titah-Nya, setiap satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya, maka lima kali shalat itu tercatat lima puluh kali dalam ummul kitab, sekalipun hanya dilaksanakan lima kali olehmu.' Maka Nabi kembali menemui Musa dan Musa bertanya, 'Apa yang telah kamu lakukan? ' Nabi menjawab, 'Allah betul-betul telah memberi kami keringanan, karena setiap kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.' Musa berkata, 'Demi Allah, aku pernah membujuk bani israil untuk yang lebih remeh daripada itu namun mereka meninggalkannya, maka kembalilah kau temui Tuhanmu agar Dia memberi keringanan terhadapmu.' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Hai Musa, demi Allah, aku telah malu kepada Tuhanku terhadap protes yang kulakukan terhadap-Nya.' Musa pun berkata, 'Baik kalau begitu, silahkan engkau turun dengan nama Allah.' Maka Nabi bangun (tidur) yang ketika itu beliau di Masjidil Haram." (H.R. Al-Bukhari) [1]
Dalam riwayat lainnya,
(H.R. Al-Bukhari)
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid telah menceritakan kepada kami Hammam bin Yahya telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bin Malik dari Malik bin Sha'sha'ah radliallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bercerita kepada mereka tentang malam perjalanan Isra': "Ketika aku berada di al Hathim" -atau beliau menyebutkan di al Hijir- dalam keadaan berbaring, tiba-tiba seseorang datang lalu membelah". Qatadah berkata; Dan aku juga mendengar dia berkata: "lalu dia membelah apa yang ada diantara ini dan ini". Aku bertanya kepada Al Jarud yang saat itu ada di sampingku; "Apa maksudnya?". Dia berkata; "dari lubang leher dada hingga bawah perut" dan aku mendengar dia berkata; "dari atas dadanya sampai tempat tumbuhnya rambut kemaluan."lalu laki-laki itu mengeluarkan kalbuku (hati), kemudian dibawakan kepadaku sebuah baskom terbuat dari emas yang dipenuhi dengan iman, lalu dia mencuci hatiku kemudian diisinya dengan iman dan diulanginya. Kemudian aku didatangkan seekor hewan tunggangan berwarna putih yang lebih kecil dari pada baghal namun lebih besar dibanding keledai." Al Jarud berkata kepadanya; "Apakah itu yang dinamakan al Buraq, wahai Abu HAmzah?". Anas menjawab; "Ya. Al Buraq itu meletakan langkah kakinya pada pandangan mata yang terjauh"."Lalu aku menungganginya kemudian aku berangkat bersama Jibril 'alaihis salam hingga sampai di langit dunia. Lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah melewatinya aku berjumpa Adam 'alaihis salam. Jibril AS berkata: "Ini adalah bapakmu, Adas. Berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Adam 'alaihis salam membalas salamku lalu dia berkata: "Selamat datang anak yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian aku dibawa naik ke langit kedua, lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku berjumpa dengan Yahya dan 'Isa 'alaihimas salam, keduanya adalah anak dari satu bibi. Jibril berkata; "Ini adalah Yahya dan 'Isa, berilah salam kepada keduanya." Maka aku memberi salam kepada keduanya dan keduanya membalas salamku lalu keduanya berkata; "Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian aku dibawa naik ke langit ketiga lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku berjumpa dengan Yusuf 'alaihis salam. Jibril berkata; "Ini adalah Yusuf. Berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Yusuf membalas salamku lalu berkata; "Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian aku dibawa naik ke langit keempat lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku berjumpa dengan Idris 'alaihis salam. Jibril berkata; "Ini adalah Idris, berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Idris membalas salamku lalu berkata; "Selamat datang saudar yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian aku dibawa naik ke langit kelima lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku bertemu dengan Harun 'alaihis salam. Jibril berkata; "Ini adalah Harun. Berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Harun membalas salamku lalu berkata; "Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian aku dibawa naik ke langit keempat lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku mendapatkan Musa 'alaihis salam. Jibril berkata; "Ini adalah Musa. Berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Musa membalas salamku lalu berkata; "Selamat datang saudara yang shalih dan nabi yang shalih". Ketika aku sudah selesai, tiba-tiba dia menangis. Lalu ditanyakan; "Mengapa kamu menangis?". Musa menjawab; "Aku menangis karena anak ini diutus setelah aku namun orang yang masuk surga dari ummatnya lebih banyak dari orang yang masuk surga dari ummatku". Kemudian aku dibawa naik ke langit ketujuh lalu Jibril meminta dibukakan pintu langit kemudian dia ditanya; "Siapakah ini". Jibril menjawab; "Jibril". Ditanyakan lagi; "Siapa orang yang bersamamu?". Jibril menjawab; "Muhammad". Ditanyakan lagi; "Apakah dia telah diutus?". Jibril menjawab; "Ya". Maka dikatakan; "Selamat datang baginya dan ini sebaik-baik kedatangan orang yang datang". Maka pintu dibuka dan setelah aku melewatinya, aku mendapatkan Ibrahim 'alaihis salam. Jibril berkata; "Ini adalah bapakmu. Berilah salam kepadanya". Maka aku memberi salam kepadanya dan Ibrahim membalas salamku lalu berkata; "Selamat datang anak yang shalih dan nabi yang shalih". Kemudian Sidratul Muntaha diangkat/dinampakkan kepadaku yang ternyata buahnya seperti tempayan daerah Hajar dengan daunnya laksana telinga-telinga gajah. Jibril 'alaihis salam berkata; "Ini adalah Sidratul Muntahaa." Ternyata di dasarnya ada empat sungai, dua sungai Bathin dan dua sungai Zhahir". Aku bertanya: "Apakah ini wahai Jibril?". Jibril menjawab; "adapun dua sungai Bathian adalah dua sungai yang berada di surge, sedangkan dua sungai Zhahir adalah an Nail dan eufrat". Kemudian aku diangkat ke Baitul Ma'mur, lalu aku diberi satu gelas berisi khamer, satu gelas berisi susu dan satu gelas lagi berisi madu. Aku mengambil gelas yang berisi susu. Maka Jibril berkata; "Ini merupakan fithrah yang kamu dan ummatmu berada di atasnya". Kemudian diwajibkan bagiku shalat lima puluh kali dalam setiap hari. Aku pun kembali dan lewat di hadapan Musa 'alaihis salam. Musa bertanya; "Apa yang telah diperintahkan kepadamu?". aku menjawab: "Aku diperintahkan shalat lima puluh kali setiap hari". Musa berkata; "Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan lima puluh kali shalat dalam sehari, dan aku, demi Allah, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelum kamu, dan aku juga telah berusaha keras membenahi Bani Isra'il dengan sungguh-sungguh. Maka kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu". Maka aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat, lalu aku kembali menemui Musa. Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat, lalu aku kembali menemui Musa. Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat, lalu aku kembali menemui Musa. Maka Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelunya. Aku pun kembali, dan aku di perintah dengan sepuluh kali shalat setiap hari. Lalu aku kembali dan Musa kembali berkata seperti sebelumnya. Aku pun kembali, dan akhirnya aku diperintahkan dengan lima kali shalat dalam sehari. Aku kembali kepada Musa dan dia berkata; "Apa yang diperintahkan kepadamu?". Aku jawab: "Aku diperintahkan dengan lima kali shalat dalam sehari". Musa berkata; "Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan lima kali shalat dalam sehari, dan sesungguhnya aku, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelum kamu, dan aku juga telah berusaha keras membenahi Bani Isra'il dengan sungguh-sungguh. Maka kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu". Beliau berkata: "Aku telah banyak memohon (keringanan) kepada Rabbku hingga aku malu. Tetapi aku telah ridla dan menerimanya". Ketika aku telah selesai, terdengar suara orang yang berseru: "Sungguh Aku telah memberikan keputusan kewajiban-Ku dan Aku telah ringankan untuk hamba-hamba-Ku". (H.R. Al-Bukhari) [2]
Isra
Allah Ta'ala berfirman,
Maha Suci Dia, Yang telah menjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha, yang telah Kami berkati, sekelilingnya supaya Kami perlihatkan kepadanya sebagaian dari Tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia, Yang Maha Mendengar, Maha Melihat. -- Alquran Surah Al-Isra (17): 2
Tafsir 1590 -- Ayat ini, yang nampaknya menyebut suatu kasyaf Rasulullah saw., telah dianggap oleh sebagian ahli tafsir Alquran menunjuk kepada Mi’raj (kenaikan rohani) beliau. Berlawanan dengan pendapat umum, kami cenderung kepada pendapat, bahwa ayat ini membahas masalah Isra (perjalanan rohani di waktu malam) Rasulullah saw. dari Mekkah ke Yerusalem dalam kasyaf, sedang Mi’raj beliau telah dibahas agak terperinci dalam Surah An-Najm. Semua kejadian yang disebut dalam Surah An-Najm (ayat-ayat 8 – 18) yang telah diwahyu kan tidak lama sesudah hijrah ke Abessinia, yang telah terjadi di bulan Rajab tahun ke 5 nabawi, diceriterakan secara terperinci dalam buku-buku hadist yang membahas Miraj Rasulullah saw., sedan Isra Rasulullah saw. dari Mekkah ke Yerusalem, yang dibahas oleh ayat ini, menurut Zurqani terjadi pada tahun ke-11 nabawi ; menurut Muir dan beberapa pengarang Kristen lainnya pada tahun ke-12. Tetapi menurut Mardawaih dan Ibn Sa’d, perintiwa Isra terjadi pada 17 Rabiul-awal, setahun sebelum hijrah (Al-Khashaish al-Kubra) . Baihaqi pun menceriterakan, bahwa Isra itu terjadi serahun atau enam bulan sebelum hijrah.
Dengan demikian semua hadist yang bersangkutan dengan persoalan ini menunjukkan, bahwa Isra itu terjadi setahun atau enam bulan sebelum hijrah, yaitu kira-kita pada tahun ke-12 nabawi, setelah Siti Khadijah wafat, yang terjadi pada tahun ke-10 nabawi, ketika Rasulullah saw. tinggal bersama-sama dengan Ummi Hani, saudari sepupu beliau. Tetapi Mi’raj, menurut pendapat sebagian terbesar ulama, terjadi kira-kita pada tahun ke-5 nabawi. Dengan demikian dua kejadian itu dipisahkan satu dengan yang lain oleh jarak waktu enam atau tujuh tahun, dan oleh karenanya kedua kejadian itu tidak mungkin sama ; yang satu harus dianggap berbeda dan terpisah dari yang lain. Lagi pula peristiwa-peristiwa yang menurut hadist terjadi dalam Mi’raj Rasulullah saw. sama sekali berbeda dalam sifatnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Isra. Secara sambil lalu dapat disebutkan di sini, bahwa kedua peristiwa itu hanya kejadian-kejadian rohani belaka, dan Rasulullah saw. tidak naik ke langit atau pergi ke Yerusalem dengan tubuh kasar.
Kecuali kesaksian sejarah yang kuat ini, ada pula kejadian-kejadian lain yang berkaitan dengan peristiwa itu mendukung pendapat, bahwa kejadian itu sama sekali berbeda dan ter pisah satu sama lain :
(1) Alquran menguraikan kejadian Mi’raj Rasulullah saw. dalam surah 53, tetapi sedikit pun tidak menyinggung Isra, sedang dalam Surah ini Alquran membahas soal Isra, tetapi sedikit pun tidak menyinggung peristiwa Mi’raj.
(2) Ummi Hani, saudari sepupu Rasulullah saw. yang di rumahnya beliau menginap pada malam peristiwa Isra terjadi, hanya membicarakan perjalanan Rasulullah saw. ke Yerusalem, dan sama sekali tidak menyinggung kenaikan beliau ke langit. Ummi Hani itu orang pertama yang kepadanya Rasulullah saw. menceriterakan perjalanan beliau di waktu malam ke Yerusalem, dan paling sedikit tujuh penghimpun riwayat-riwayat hadist telah mengutip keterangan Ummi Hani mengenai kejadian ini, yang bersum-ber pada empat perawi yang berlain-lainan. Semua perawi ini sepakat, bahwa Rasulullah saw. berangkat ke Yerusalem dan pulang kembali ke Mekkah pada malam itu juga.
Jika sekiranya Rasulullah saw. telah membicarakan pula kenaikan beliau ke langit, tentu Ummi Hani tidak akan lupa menyebutkan hal ini dalam salah satu riwayatnya. Tetapi beliau tidak menyebut hal itu dalam satu riwayat pun ; dengan demikian menunjukkan dengan pasti , bahwa pada malam yang bersangkutan itu Rasulullah saw. melakukan Isra hanya sampai Yerusalem ; dan bahwa Mi’raj itu tidak terjadi pada ketika itu. Nampaknya beberapa perawi hadist mencampur baurkan kedua peristiwa Isra dan Mi’raj itu. Rupanya pikiran mereka dikacaukan persamaan yang terdapat pada beberapa uraian terperinci mengenai Isra dan Mi’raj telah menambah dan memperkuat pendapat mereka yang kacau balau itu. Hadist-hadist yang mula-mula meriwayatkan perjalanan Rasulullah saw. ke Yerusalem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusa lem dan selanjutnya mengenai kenaikan beliau dari sana ke langit, menyebut pula bahwa di Yerusalem beliau bertemu dengan beberapa nabi terdahulu, termasuk Adam as., Ibrahim as., Musa as., dan Isa as. ; dan bahwa di berbagai petala langit beliau menemui nabi-nabi yang itu-itu juga, tetapi tidak dapat mengenal mereka. Bagaimanakah nabi-nabi tersebut, yang telah beliau jumpai di Yerusalem, sampai pula ke langit sebelum beliau ; dan mengapa beliau tidak mengenali mereka, sedang beliau telah melihat mereka beberapa saat sebelumnya dalam perjalanan itu-itu juga ? Tidaklah masuk akal, bahwa beliau tidak dapat mengenal mereka, padahal hanya beberapa saat sebelum itu, beliau bertemu dengan mereka dalam perjalanan itu juga. Untuk kupasan terperinci mengenai masalah yang penting ini, lihat Edisi Besar Tafsir dalam bahasa Inggris halaman 1404 – 1409.
Tafsir 1591 -- "Masjid Aqsha" (masjid yang jauh) menunjuk kepada rumah peribadatan (kenisah) yang didirikan oleh Nabi Sulaiman as. di Yerusalem.
Tafsir 1591a -- Kasyaf Rasulullah saw. yang disebut dalam ayat ini mengandung suatu nubuatan yang agung. Perjalanan beliau ke "Masjid Aqsha" berarti hijrah beliau ke Medinah, tempat beliau akan mendirikan suatu masjid, yang ditakdirkan kelak akan menjadi masjid pusat Islam, dan penglihatan diri beliau sendiri dalam kasyaf, bahwa beliau mengimani pada nabi lainnya dalam shalat mengandung arti, bahwa agama baru, ialah Islam, tidak akan terkurung di tempat kelahirannya saja, melainkan akan tersebar ke seantero dunia, dan pengikut-pengikut dari semua agama akan menggabungkan diri kepadanya. Kepergian beliau ke Yerusalem dalam kasyaf dapat pula dianggap mengandung arti, bahwa beliau akan diberi kekuasaan di masa khilafat (kekhalifahan) Sayyidina Umar ra. Kasyaf ini dapat pula diartikan sebagai petunjuk kepada suatu perjalanan rohani Rasulullah saw. ke suatu negara jauh, di suatu masa yang akan datang. Maksudnya bahwa ketika kegelapan rohani akan menutupi seluruh dunia, Rasulullah saw. akan muncul kembali secara rohani dalam wujud salah seorang pengikut beliau, dalam satu negara yang sangat jauh dari tempat pertama beliau diutus. Satu penunjukkan yang khusus kepada kebangkitan kedua Rasulullah saw. terdapat dalam 62:3 – 4.
Dalam satu riwayat diceritakan,
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdurrahman; aku mendengar Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma bahwa, dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ketika kaum Quraisy mendustakan aku (tentang Isra' dan Mi'raj), aku berdiri di al Hijir, lalu Allah menampakkan kepadaku Baitul Maqdis, maka aku mulai menceritakan kepada mereka tentang tanda-tandanya. sedang aku terus melihatnya". (H.R. Al-Bukhari) [3]