Baris 75: |
Baris 75: |
| Hambatan ke-tujuh, dalam perbaikan amal adalah hubungan dan perilaku manusia yang berat dan takut kepada Tuhan yang berkurang.[5] | | Hambatan ke-tujuh, dalam perbaikan amal adalah hubungan dan perilaku manusia yang berat dan takut kepada Tuhan yang berkurang.[5] |
| | | |
− | Kadangkala serakah, hubungan setiakawan (persahabatan), persaudaraan, perkelahian, dendam-kesumat, permusuhan atau kebencian tidak membuktikan segi kehidupan yang baik. Contohnya, amanat, manusia tidak memandangnya sebagai sebuah perintah Allah Ta’ala, melainkan menggunakannya dengan pandangan lain; umpamanya, bagaimana amanat (jabatan) itu akan menambah pengaruh dirinya atas teman-temannya, atau akan mengurangi. Begitu juga terhadap kebenaran tidak memandang bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berkata benar, melainkan dengan pandangan bahwa, apakah dengan berkata benar ini tidak merugikan dirinya sendiri atau temannya atau keluarganya? Seorang manusia memberi kesaksian menentang orang lain karena pada suatu waktu dia telah merugikan dirinya. Dia pikir, “Sekarang saya mendapat ksempatan untuk membalas dendam kepadanya, akan memberi kesaksian melawan dia.” Jadi, timbulnya kelemahan di dalam amal disebabkan lenyapnya perasaan takut kepada Tuhan di dalam hati manusia. Dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala perintah itu harus selalu terpampang di hadapan mata kita, bahwa sekalipun harus memberi kesaksian menentang diri sendiri, menentang kedua ibu-bapak atau saudara-saudara kita, tetapi kebenaran dan kejujuran harus diutamakan: شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ — “jadilah saksi karena Allah walau pun bertentangan dengan diri kamu atau bapak-bapak atau kaum kerabat (An—Nisa 136). | + | Kadangkala serakah, hubungan setiakawan (persahabatan), persaudaraan, perkelahian, dendam-kesumat, permusuhan atau kebencian tidak membuktikan segi kehidupan yang baik. Contohnya, amanat, manusia tidak memandangnya sebagai sebuah perintah Allah Ta’ala, melainkan menggunakannya dengan pandangan lain; umpamanya, bagaimana amanat (jabatan) itu akan menambah pengaruh dirinya atas teman-temannya, atau akan mengurangi. Begitu juga terhadap kebenaran tidak memandang bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berkata benar, melainkan dengan pandangan bahwa, apakah dengan berkata benar ini tidak merugikan dirinya sendiri atau temannya atau keluarganya? Seorang manusia memberi kesaksian menentang orang lain karena pada suatu waktu dia telah merugikan dirinya. Dia pikir, “Sekarang saya mendapat ksempatan untuk membalas dendam kepadanya, akan memberi kesaksian melawan dia.” Jadi, timbulnya kelemahan di dalam amal disebabkan lenyapnya perasaan takut kepada Tuhan di dalam hati manusia. Dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala perintah itu harus selalu terpampang di hadapan mata kita, bahwa sekalipun harus memberi kesaksian menentang diri sendiri, menentang kedua ibu-bapak atau saudara-saudara kita, tetapi kebenaran dan kejujuran harus diutamakan: |
| + | |
| + | {{Arab Quran|teks-quran=... شُہَدَآءَ لِلّٰہِ وَلَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَالۡاَقۡرَبِیۡنَ ...}} |
| + | |
| + | “jadilah saksi karena Allah walau pun bertentangan dengan diri kamu atau bapak-bapak atau kaum kerabat (An—Nisa 136). |
| | | |
| === '''Hambatan Ke-8 Ishlah Amal (Perbaikan Amal): Keadaan keluarga yang Belum Baik''' === | | === '''Hambatan Ke-8 Ishlah Amal (Perbaikan Amal): Keadaan keluarga yang Belum Baik''' === |
| Hambatan kedelapan, dalam perbaikan amal adalah, sangat sulit sekali selama keadaan semua anggota keluarga belum baik.[6] | | Hambatan kedelapan, dalam perbaikan amal adalah, sangat sulit sekali selama keadaan semua anggota keluarga belum baik.[6] |
| | | |
− | Misalnya, kejujuran tidak akan dapat menjadi sempurna, atau standarnya tidak dapat bertahan apabila isteri dan anak-anak juga tidak bersama-sama mendukung sepenuhnya. Pemimpin rumah tangga betapapun banyaknya menghasilkan uang secara halal, namun jika isterinya merampas harta tetangga atau telah merugikan orang lain, berusaha mencuri harta orang. Atau anaknya membawa uang suap dari kantornya ke rumah, maka semua harta keluarga itu tercemar dan tidak halal lagi. Khususnya bagi keluarga yang disebut Join Family di mana semua keluarga tinggal bersama dalam satu rumah. Begitu juga mengenai amal yang lain, apabila semua keluarga tidak sepakat berusaha melakukan perbaikan, maka pada suatu waktu pengaruh buruk satu orang akan menular kepada yang lain. Isteri shaleh, namun suami mencari nafkah tidak halal, maka akibatnya akan membawa kesan buruk kepada keluarga. Jika bapak patuh menunaikan shalat namun anak-anak dibiarkan tidak diarahkan mengerjakan shalat, atau isteri menaruh perhatian terhadap menunaikan shalat namun suami lalai tidak menunaikan shalat, maka anak-anak akan meniru perilaku bapak mereka. Di dalam khotbah Jumat yang lalu juga telah saya berikan contoh-contoh lainnya. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quranul Karim: قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا '''– yakni, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu hanya menyelamatkan diri sendiri dari api melainkan kamu selamatkanlah seluruh keluarga juga dari api Jahannam. (At Tahrim:7). Jadi, tidak cukup hanya menyelamatkan diri kita sendiri dari api Jahannam melainkan menyelamatkan setiap orang di dalam keluarga juga adalah wajib atas kita.''' | + | Misalnya, kejujuran tidak akan dapat menjadi sempurna, atau standarnya tidak dapat bertahan apabila isteri dan anak-anak juga tidak bersama-sama mendukung sepenuhnya. Pemimpin rumah tangga betapapun banyaknya menghasilkan uang secara halal, namun jika isterinya merampas harta tetangga atau telah merugikan orang lain, berusaha mencuri harta orang. Atau anaknya membawa uang suap dari kantornya ke rumah, maka semua harta keluarga itu tercemar dan tidak halal lagi. Khususnya bagi keluarga yang disebut Join Family di mana semua keluarga tinggal bersama dalam satu rumah. Begitu juga mengenai amal yang lain, apabila semua keluarga tidak sepakat berusaha melakukan perbaikan, maka pada suatu waktu pengaruh buruk satu orang akan menular kepada yang lain. Isteri shaleh, namun suami mencari nafkah tidak halal, maka akibatnya akan membawa kesan buruk kepada keluarga. Jika bapak patuh menunaikan shalat namun anak-anak dibiarkan tidak diarahkan mengerjakan shalat, atau isteri menaruh perhatian terhadap menunaikan shalat namun suami lalai tidak menunaikan shalat, maka anak-anak akan meniru perilaku bapak mereka. Di dalam khotbah Jumat yang lalu juga telah saya berikan contoh-contoh lainnya. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quranul Karim: |
| + | |
| + | {{Arab Quran|teks-quran=یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ وَاَہۡلِیۡکُمۡ نَارًا ...}} |
| + | |
| + | '''yakni, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu hanya menyelamatkan diri sendiri dari api melainkan kamu selamatkanlah seluruh keluarga juga dari api Jahannam... (At Tahrim 66:7).''' |
| + | |
| + | '''Jadi, tidak cukup hanya menyelamatkan diri kita sendiri dari api Jahannam melainkan menyelamatkan setiap orang di dalam keluarga juga adalah wajib atas kita.''' |
| | | |
| '''Maka untuk mengadakan usaha perbaikan amal perlu sekali perbaikan seluruh anggota keluarga dan untuk itu semua anggota keluarga harus berusaha bersama-sama secara kompak. Kepala keluarga mempunyai kedudukan sangat penting sekali dalam usaha itu. Kadangkala terjadi kelengahan dari istri dan anak-anak, atau mereka merasa sulit atau kasih-sayang terhadap anak yang berlebihan menjadi hambatan bagi perbaikan amal di dalam keluarga.''' | | '''Maka untuk mengadakan usaha perbaikan amal perlu sekali perbaikan seluruh anggota keluarga dan untuk itu semua anggota keluarga harus berusaha bersama-sama secara kompak. Kepala keluarga mempunyai kedudukan sangat penting sekali dalam usaha itu. Kadangkala terjadi kelengahan dari istri dan anak-anak, atau mereka merasa sulit atau kasih-sayang terhadap anak yang berlebihan menjadi hambatan bagi perbaikan amal di dalam keluarga.''' |