Khotbah-huzur-20131220

Dari Isa Mujahid Islam
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz Tanggal 20 Fatah 1392 HS/Desember 2013 di Masjid Baitul Futuh, UK

Dalam khotbah Jumat yang lalu dengan mengambil referensi dari khotbah Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., telah dijelaskan dua macam hambatan dalam mengadakan reformasi amal, hambatan-hambatan lainnya saya jelaskan dalam khotbah sekarang ini.

Hambatan Ke-3 Perbaikan Amal: Ketergesa-gesaan

Hambatan ketiga dalam reformasi amal atau perbaikan amal ini adalah pengaruh perkara-perkara ingin segera atau perkara ingin cepat dan singkat. Masalah akidah atau iman adalah masalah yang jauh dan jangka panjang, yang mempunyai kaitannya lebih banyak dengan kehidupan Alam Akhirat. Sebagaimana telah saya terangkan, bahwa masalah keadaan amal perbuatan yang sifatnya segera, manusia menganggap hal itu tidak ada kaitannya dengan akidah atau iman: “Jika saya melakukan perbuatan yang salah, tidak akan mempengaruhi kepada akidah saya mengenai Tauhid Ilahi.” Misalnya ada seorang Tukang Mas mengira, “Jika saya campurkan logam palsu dengan emas, perbuatan ini tidak akan mempengaruhi keyakinan saya terhadap Tauhid atau Tuhan Yang Mahaesa. Saya akan mendapat penghasilan lebih banyak. Dengan cepat saya akan menjadi pemilik harta banyak.”

Jadi, demi keuntungan yang dapat diperoleh dalam waktu singkat itu manusia melakukan perbuatan buruk tidak bermoral dengan jalan menipu atau mencuri. Dia mengira bahwa dengan perbuatan demikian itu tidak mempengaruhi atau tidak ada kaitannya dengan akidah atau iman.

Banyak haji-haji besar melakukan penipuan dalam perniagaan mereka, namun demikian merasa bangga dengan dirinya sebagai seorang haji. Di waktu sedang melakukan penipuan, mereka lupa atau tidak menganggap penting terhadap kehidupan di Akhirat nanti dan tidak menganggap amal perbuatan duniawi memberi pengaruh terhadap kehidupan ukhrawi. Mengamalkan ajaran seorang Nabi Allah sangat berfaedah sekali dan karenanya manusia akan mendapat keselamatan di akhirat nanti, namun pada umumnya manusia menganggap hal itu suatu perkara yang sangat jauh. Sebab paling utama adalah bagaimana hasrat manusia untuk meraih keuntungan atau kesenangan dapat terpenuhi secepat mungkin, yang selalu merasuk pikirannya. Itulah sebabnya tukang mas melebur mas murni dengan logam palsu, mengurangi timbangan diwaktu menjual perak, pemilik toko memalsukan barang-barang dagangannya, pemilik kilang (pabrik) menunjukkan sample (contoh) mutu barangnya yang baik, namun di waktu delivery (pengiriman) mutu barang-barangnya lain lagi, lebih rendah atau lebih jelek mutunya dari pada sampel yang ditunjukkan sebelumnya. Perbuatan seperti itu sudah umum sekali dilakukan khususnya di negara-negara Dunia ketiga sehingga keperluan duniawi menjadi penghalang di jalan perbaikan amal. Mereka harus mengeluarkan dari pikiran dan angan-angan mereka atau mereka lupakan sama-sekali penipuan, dusta serta pemalsuan perkara yang menimbulkan kerugian jangka panjang,.

Ghibat (Gunjing)

Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. memberi banyak macam contoh, misalnya ghibat (menggunjing) sebuah dosa yang besar. Misalnya Kepala kantor seseorang telah berlaku tidak adil kepadanya, namun anak buah tidak bisa berbuat sesuatu melawan atasannya itu. Tiba-tiba ia bertemu dengan atasan dari Kepala Kantornya itu, dan atasannya itu berbicara yang negatif mengenai Kepala Kantornya itu.

Orang itu merasa sangat gembira sekali bertemu atasan Kepala Kantornya itu, lalu dia melaporkan kelemahan-kelemahan dan keburukan-keburukannya yang membuat atasan Kepala Kantornya itu bertambah marah kepadanya. Dia melaporkannya dengan berbagai macam cara yang dusta atau yang benar. Semua diceritakannya untuk membalas perbuatan Kepala Kantornya itu yang selalu menyusahkan hatinya. Di waktu itu ia berpikir, “Jika aku tidak melakukan ghibat melawan Kepala Kantorku itu maka jiwa dan hartaku tidak akan selamat.” Dengan demikian ia terpedaya oleh perbuatan ghibat demi mendapatkan faedah duniawi. Dengan demikian manusia melibatkan dirinya dalam keburukan demi kepentingan duniawinya.

Hambatan Keempat Perbaikan Amal: Adat Kebiasaan

Hambatan keempat dalam perbaikan amal adalah hubungan amal dengan adat kebiasaan dan disebabkan adat kebiasaan itu maka timbul kelemahan-kelemahan. Khususnya hal itu terjadi apabila pemerintahan dijalankan tanpa adanya dukungan agama. Yakni berdasarkan undang-undang Pemerintah banyak diantara perbaikan amal dapat dilakukan. Akan tetapi sangat disesalkan sekali, bahwa beberapa amal yang dinyatakan oleh Islam tidak senonoh, yang untuk perbaikannya Islam sangat menegaskan, di negara-negara Muslim sendiri disebabkan hilangnya kejujuran, [perbuatan buruk tersebut] sedang ramai dilakukan, sehingga keadaan amal di negara-negara Muslim patut dipikirkan. Di negara-negara Non Muslim kebanyakan dari beberapa amal buruk yang sangat perlu diperbaiki tidak dianggap perbuatan immoral atau tidak dianggap tidak senonoh. Itulah sebabnya banyak amal perbuatan yang tidak dapat diperbaiki lagi.

Jadi, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk perbaikan (reformasi) amal, dimana agama dan pemerintah mempunyai konsep yang sama tentang perbaikan amal itu. Dalam situasi demikian adat kebiasaan dapat dihapuskan. Akan tetapi dimana undang-undang Pemerintah tidak mendukung perbaikan amal maka di sana adat kebiasaan tidak dapat dihapuskan, dan kelemahan-kelemahan amal akan menjadi racun bagi masyarakat. Sebagaimana kita dapat menyaksikan kelemahan-kelemahan amal menyebar dengan pesat melalui media elektronik ke setiap tempat di seluruh dunia. Orang-orang yang dibesarkan dalam lingkungan seperti itu, karena mereka telah menjadi bagian dari masyarakat lingkungan itu, dengan seringnya menyaksikan pemandangan-pemandangan tersebut maka kelemahan-kelemahan amal itu akan merasuk menjadi adat kebiasaan mereka, dan secara sadar ataupun tanpa sadar anak-anak, para pemuda, laki perempuan terlibat dalam kelemahan-kelemahan itu.

Apabila adat kebiasaan telah menjadi kuat dan mendarah daging maka melepaskan diri darinya sangat sulit sekali. Misalnya, jika seseorang telah terbiasa dengan barang-barang yang memabukkan, maka untuk melepaskan diri lagi dari padanya sangat sulit sekali. Seseorang mudah saja mengurbankan kepercayaannya dari beriman kepada tiga tuhan menjadi beriman kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi tidak mungkin terjadi bagi orang yang sudah beriman kepada Tuhan Yang Tunggal, akan berpikir untuk mengubah keimanannya kepada tiga tuhan.

Namun di dalam hati orang yang sudah terbiasa dengan barang yang memabukkan pasti timbul keinginan untuk melayang dalam khayalan kemabukan. Ia bisa melepaskan akidah atau iman sepanjang hidupnya, akan tetapi meninggalkan kebiasaan mabuk yang hanya beberapa bulan atau beberapa tahun saja ia terlibat, akan membuatnya susah dan sangat gelisah. Banyak para penghisap rokok juga yang masuk ke dalam Jemaat ini meninggalkan keluarga mereka, meninggalkan saudara-saudara mereka, meninggalkan kedua ibu bapak mereka bahkan meninggalkan anak-isteri mereka juga, karena masuk Jemaat Ahmadiyah. Akan tetapi untuk meninggalkan menghisap rokok, mereka akan mencari seribu satu macam alasan dengan mengatakan, perut kembung tanpa merokok, tidak bisa tidur tanpa rokok, tidak enak makan, sakit kepala karena tidak menghisap rokok dan sebagainya. Kemampuan untuk berpikir ke arah perbaikan menjadi hilang, akhirnya pikirannya selalu gelisah. Kasus seperti ini bukan berkaitan dengan para Ahmadi baru melainkan setiap orang Ahmadi yang banyak melakukan kebaikan yang banyak menyerahkan pengurbanan juga, namun tidak bisa meninggalkan adat kebiasaan yang kecil sekalipun jika ia sudah menjadi darah daging.

Pecandu Hookah

Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. telah menulis sebuah kisah tentang paman beliau yang berusia tua, yang tidak beragama dan sudah kecanduan dengan menghisap hookah (pipa rokok panjang). Orang-orang yang mempunyai adat kebiasaan menghisap hookah yang datang kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, setelah berjumpa dengan beliau as mereka pun pergi ke rumah paman tua beliau untuk menikmati menghisap hookah, sebab di rumah Hadhrat Masih Mau’ud as tidak disediakan hookah. Sampai di rumah paman tua itu mereka terpaksa menghindar dari percakapan paman tua itu yang tidak keruan disebabkan pengaruh hookah itu.

Pada suatu hari Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. bertanya kepada paman penghisap hookah itu: “Apakah paman sempat juga mengerjakan shalat?” Jawabnya; Semenjak kecil saya selalu tertawa apabila melihat orang-orang yang sedang jungkir-balik, sujud sambil menundukkan kepala. Maksudnya, apabila saya melihat orang-orang sedang shalat dan melakukan sujud, semenjak itu saya selalu mentertawakannya.

Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. selanjutnya menulis: Sudah biasa banyak orang pergi ke rumah paman tua itu karena hookah. Mereka harus bertahan mendengar percakapannya yang anti Islam dan Ahmadiyah itu. Pada suatu hari seorang Ahmadi pergi ke sana, namun dia segera kembali lagi dari sana sambil menyesali dirinya. Ketika seorang bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi? Dia jawab katanya: “Disebabkan hookah itu, disebabkan laknat hookah itu, saya tidak dapat bertahan harus mendengar percakapan paman tua yang tidak karuan itu.”

Kadangkala manusia mempunyai adat berberkata-kata yang membuat manusia merasa terhina. Kebanyakan orang mempunyai adat bercakap dusta. Beratus kali diberi nasihat, diberi pengawasan terhadapnya, namun tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan berdusta. Perbaikan terhadap mereka sulit sekali, namun bukan tidak mungkin.

Pentingnya Terus Memberikan Nasihat

Sekalipun perbaikan sudah dianggap tidak mungkin lagi, namun nasihat-nasihat, khotbah-khotbah tentang itu senantiasa diberikan, tujuannya agar lambat-laun mereka mengerti. Allah Ta’ala memerintahkan agar nasihat terus dilakukan. Jika terdapat sekelumit iman di dalam diri mereka tentu nasihat akan masuk dan akan memberi faedah kepada mereka. Itulah sebabnya Allah Ta’ala menegaskan agar nasihat terus-menerus dijalankan, suatu waktu akan memberi faedah kepada mereka. وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ — (Dan berilah peringatan selalu, sesungguhnya peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman – Surah adz-Dzaariyaat: 56).[2]

Ada seorang yang mempunyai adat memaki, setiap waktu sering memaki-maki orang, sehingga dia sendiri tidak sadar bahwa ia sedang memaki orang. Ketika dilaporkan kepada Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. dipanggillah orang itu kemudian ditanya mengapa suka memaki orang? Orang itu memaki, lalu tanpa menyadari dia berkata, “Siapa bilang saya memaki orang?” Karena sudah menjadi adat kebiasaan, manusia tidak sadar apa yang sedang dia ucapkan. Banyak orang yang betul-betul kehilangan perasaan atau kesadaran disebabkan adat kebiasaan yang sudah mendarah daging. Perasaan atau kesadaran hilang sirna. Akan tetapi jika manusia berusaha untuk melakukan perbaikan terhadap dirinya, maka perasaan atau kesadaran itu lambat-laun bisa pulih kembali. Bahkan ia bisa mudah diperbaiki.

Walhasil adat kebiasaan adalah hambatan paling besar dan berat sekali di dalam usaha perbaikan amal. Pada zaman sekarang ini manusia gemar sekali menyaksikan film-film di internet dan media lainnya. Keadaan mereka itu seperti orang-orang yang mabuk, mereka lupa makan, duduk terus-menerus di hadapan internet, sekalipun sambil mengantuk tetap menyaksikan film itu di internet tidak mau beranjak dari padanya, ada juga yang tidak mempedulikan keadaan anak isteri mereka. Jadi, adat kebiasaan ini adalah hambatan paling besar dan berat sekali di dalam usaha perbaikan amal.

Hambatan Ke-5 Perbaikan Amal: Keluarga

Hambatan kelima, dalam perbaikan amal adalah keluarga yakni: isteri dan anak-anak.[3]

Kadangkala manusia menghadapi percobaan melalui keluarga atau isteri dan anak-anak mereka. Misalnya: Islam melarang merampas harta orang. Jika seseorang menyimpan uang orang lain sebagai amanat tanpa saksi dan tidak ada bukti yang jelas, mungkin saja dia akan menggunakan uang itu karena terdesak oleh keperluan keluarga. Niatnya menjadi rusak atau niat berubah. Mungkin isteri meminta biaya untuk sesuatu keperluan dan suami tidak dapat memenuhi permintaannya. Atau anak meminta uang untuk sesuatu keperluan dan bapaknya tidak bisa memenuhinya. Sekarang ada kesempatan untuk menggunakan uang amanat itu untuk memenuhi keperluan isteri dan anaknya. Atau untuk keperluan biaya pengobatan anak sakit, tidak ada uang. Dia mengambil kesempatan menggunakan uang amanat itu untuk biaya pengobatan anaknya yang sakit, perhitungannya bagaimana nanti bisa dikembalikan atau tidak. Atau untuk keperluan biaya isteri dan anak-anak terpaksa manusia merampas uang orang lain. Hal itu semua tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam, menggunakan uang yang diamanatkan kepadanya. Walhasil uang yang telah diamanatkan kepadanya itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, apakah ada saksinya atau ada buktinya ataupun tidak. Kadangkala banyak di antara manusia merampas harta anak-anak yatim masih dibawah umur demi memenuhi keperluan isteri dan anak-anak mereka atau untuk menyediakan harta bagi anak-anak mereka. Atau sedikit banyak mereka merugikan hak milik anak-anak yatim itu.

Dan tidak terbatas hanya kepada masalah keuangan, bukan hanya ini sebagai contoh. Kebanyakan kedua ibu bapak karena cinta berlebihan terhadap anak-anak, khususnya dalam masyarakat bebas dan maju sering terjadi – bahkan tidak pelak lagi perkara demikian terjadi juga di dalam masyarakat negara-negara berkembang – tidak berusaha menerapkan ajaran Islam kepada anak-anak mereka. Sangat disesalkan sekali bahwa apa yang sedang saya bicarakan ini sewaktu-waktu nampak juga di dalam masyarakat Ahmadi. Ada yang merampas uang orang yang diamanatkan kepadanya. Ada yang melakukan penipuan di dalam urusan keuangan. Ada juga orang yang tidak memberikan harta milik anak-anak yatim secara utuh. Semua perkara dan keluhan-keluhan itu dibawa langsung ke meja Dewan Qada atau ke Pengadilan. Ada seorang yang tinggal di negara maju menikahkan puterinya dengan seorang pemuda tinggal di Pakistan dan tepat pada hari pertama dipesan kepada menantunya bahwa puterinya itu dipelihara dengan penuh kasih-sayang dan diberi segala jenis kebebasan. Hendaknya janganlah dikenakan terlalu banyak sekatan-sekatan terhadapnya. Di dalam benak anak perempuan itu timbul kesombongan disebabkan pesan-pesan bapaknya kepada suaminya itu. Dia tidak hormat dan telah menganggap remeh terhadap suaminya itu. Padahal Islam mengajarkan bahwa isteri harus hormat terhadap sang suami dan harus menunaikan hak-hak kewajiban terhadapnya. Dia harus memelihara rumah tangganya dengan baik sebab semua itu merupakan kewajiban sang isteri. Kadangkala para pemuda menikahi perempuan-perempuan dari Pakistan dan mereka berbuat kejam terhadap isteri-isteri mereka. Kedua ibu-bapak pihak laki-laki berkata kepada menantu perempuannya itu, “Bersabarlah sebab laki-laki sekarang sudah biasa berbuat demikian.”Akibat memanjakan anak-anak, dimana membuat kehancuran keadaan kedua ibu bapak di sana membuat hancur rumah tangga juga.

Maka banyak sekali contoh hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh keluarga, yakni isteri dan anak-anak, di dalam menghadapi usaha perbaikan amal. Banyak amal perbuatan yang menzahirkan kelemahan-kelemahan manusia, sebab kasih-sayang berlebihan terhadap Isteri dan anak-anak atau berbagai macam keperluan-keperluan menjadi hambatan bagi mereka. Kecintaan terhadap mereka menjadi penghambat untuk melakukan perbaikan amal. Perbuatan-perbuatan dusta demi memenuhi keperluan anak-anak dilakukan karena kecintaan terhadap anak-anak.

Penyakit uang suap sudah biasa terjadi di negara-negara Dunia ketiga atau negara-negara berkembang. Para penguasa mengambil uang suap bukan hanya untuk diri mereka melainkan untuk membuat harta isteri dan anak-anak mereka. Atau untuk biaya anak-anak mereka belajar di sekolah-sekolah yang mahal.

Oleh karena itulah, ghairat dan perasaan yang tertanam di dalam hati menjadi penghambat dalam usaha perbaikan amal manusia. Perbaikan itu hanya dapat dilakukan apabila puncak kecintaan kepada Tuhan dapat menggantikan semua kecintaan, dan manusia terlepas sepenuhnya dari pengaruh kecintaan terhadap duniawi. Jika tidak maka perbaikan amal sangat sulit sekali dilaksanakan.

Hambatan Ke-6 Perbaikan Amal: Tidak Mengawasi Dirinya Secara Tetap

Hambatan ke-enam, dalam perbaikan amal adalah manusia tidak mengawasi dirinya secara tetap. Setiap waktu melakukan sesuatu harus berpikir apakah natijahnya (akibatnya) baik atau tidak? Untuk melakukan pekerjaan ini ada izin atau tidak?[4]

Apakah pekerjaan yang sedang dilakukan ini sesuai dengan sabda Hadhrat Masih Mau’ud as atau tidak — bahwa ada 700 macam perintah di dalam Al-Quran yang harus ditaati. Apakah tidak menyimpang dari perintah-perintah itu? Contohnya, berlaku jujur, sebuah perintah yang sangat penting sekali, yang harus dipatuhi oleh setiap pemilik toko, atau oleh seorang pegawai dan setiap orang harus jujur di dalam menjalani kehidupannya. Seorang pemilik toko setiap waktu mendapat perintah untuk berlaku jujur. Jika seorang pelanggan yang tidak dikenal datang berbelanja diberi barang yang tidak sesuai atau dikenakan harga barang lebih mahal atau dengan harga yang telah ditetapkan dikurangi timbangan dari semestinya. Penyakit moral seperti ini tidak terjadi di negeri ini namun di negeri-negeri miskin atau di negeri yang sedang berkembang sudah biasa terjadi. Pemilik toko berpikir bagaimana mengambil keuntungan lebih banyak dari setiap pelanggan yang kurang ilmu. Seorang pemilik toko akan berpikir, “Jika aku mengurangi timbangan setiap barang dari setiap pelanggan, maka sampai petang aku akan menerima kelebihan sekian.” Kadangkala melihat keadaan pelanggan yang sedang memerlukan sekali, dia mengambil kesempatan untuk meraih keuntungan jauh lebih banyak dari keuntungan yang normal.

Nasihat Kepada Para Ahmadi Pemilik Toko

Perbuatan demikian bertentangan dengan sistim perniagaan, sedangkan Islam melarang keras perbuatan demikian. Berkenaan dengan mengambil keuntungan, ketika kota Rabwah baru-baru mulai dihuni Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. telah memberi nasihat kepada para pemilik toko: “Ambillah keuntungan sedikit maka para pelanggan akan banyak datang berbelanja ke toko kalian. Namun saya menerima banyak keluhan-keluhan bahwa para pemilik toko di Rabwah begitu banyak mengambil keuntungan sehingga orang-orang pergi berbelanja ke Chiniot. Yakni uang orang-orang Ahmadi mengalir kepada pemilik toko Ghair Ahmadi bukan kepada pemilik toko orang-orang Ahmadi.” Para pemilik toko Ahmadi bertanggung jawab atas kejadian itu, karena itu di manapun para pemilik toko Ahmadi harus berpikir untuk mengadakan perbaikan amal mereka. Standar mereka sebagai pemilik toko harus jauh lebih baik dari yang lain. Jangan mengurangi timbangan, cacat suatu barang harus diberitahukan kepada pelanggan bukan disembunyikan. Keuntungan harus wajar dan jangan mengambil terlalu banyak. Perniagaan dengan cara demikian akan mendapat berkat, tidak akan berkurang. Oleh karena itu setiap orang Ahmadi harus berlaku jujur di dalam segala jenis usaha. Untuk itu setiap waktu pengusaha Ahmadi harus selalu mengingatkan diri sendiri untuk mengadakan perbaikan amal secara praktis. Jika sudah terbiasa berprilaku demikian maka perbaikan amal akan mudah dilaksanakan. Setiap waktu harus berpikir pekerjaan apa yang harus mendapat perbaikan. Begitu juga mengenai keburukan-keburukan, misalnya dusta, setiap waktu berbicara perlu ingat: Apakah dalam pembicaraan saya itu tidak mengandung salah ucap.

Ada sebuah contoh lagi, seorang pemilik toko yang cermat begitu waktu shalat tiba ia menutup tokonya lalu pergi ke mesjid untuk menunaikan shalat. Pemilik toko lain berkata, “Saya akan tetap membuka toko agar dalam kesempatan itu berapapun banyaknya pelanggan akan datang ke toko saya.” Jadi satu pihak pemilik toko yang menaruh perhatian terhadap amal shaleh pergi menunaikan salat, sedangkan pihak yang lain menaruh perhatian hanya terhadap mengumpulkan uang, berpikir hanya untuk mencari keuntungan duniawi.

Pada suatu hari keluhan diterima tentang para pemilik toko di Rabwah bahwa mereka tidak menutup toko-toko pada waktu-waktu shalat. Namun sekarang telah diterima laporan dari sana bahwa mereka semua telah setuju untuk menutup toko-toko mereka pada waktu-waktu shalat. Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada mereka semua untuk mengamalkannya dengan penuh taat.

Begitu juga para pemilik toko di Qadian harus menyadari hal itu dan sekarang disebabkan Jalsah Salanah akan berlangsung mereka akan memperoleh jumlah ekstra pembeli, akan tetapi mereka jangan lupa harus menghargai kewajiban dan semua toko-toko dan stalls harus ditutup selama waktu-waktu shalat. Para pembeli yang datang dari Luar Negeri harus menyadari hal ini. Setiap Ahmadi di seluruh dunia harus menaruh perhatian terhadap pelaksanaan semua kewajiban-kewajiban mereka. Keadaan orang yang menaruh perhatian terhadap amalnya masing-masing seperti seorang yang memacu seekor kuda yang sedang berlari kencang, jika ia tidak duduk berhati-hati maka kuda akan menjatuhkannya terpelanting ke bawah. Jadi, seorang mukmin harus menaruh perhatian terhadap amal perbuatan yang dia lakukan dan memang harus diperhatikan. Sebab jika terjadi kelengahan walaupun hanya sekejap mata maka standar dirinya sebagai mukmin akan jatuh dan perbaikan amalnya juga tidak dapat dilakukan.

Pentingnya Memberikan Perhatian Terhadap Setiap Urusan Agar Terlindung Di Balik Hijab

Setiap orang dapat melangkah ke arah yang baik dengan menaruh perhatian terhadap setiap perkara dan setiap urusan. Jika hati seseorang mulai cenderung kepada keburukan-keburukan, akhirnya dia akan terbenam ke dalamnya. Jadi, demi terhindar dari keburukan-keburukan, manusia harus menaruh perhatian terhadap setiap pekerjaan agar ia terlindung dalam hijab atau pardah, sebab apabila hijab atau pardah itu tersingkap maka keburukan demi keburukan akan menyergapnya.

Saya ingin memberi contoh tentang seorang perempuan mengenai pardah. Apabila satu kali pardah ditinggalkan maka keberanian untuk berbuat keburukan akan meningkat. Ketika saya berkunjung ke Australia, saya mengetahui keadaan perempuan-perempuan senior yang baru datang dari Pakistan untuk tinggal bersama anak-anak mereka, memberi nasihat kepada para remaja putri mereka agar sekurang-kurangnya mengenakan pakaian yang moderat dan harus mengenakan penutup kepala. Anak-anak muda yang tidak mengenakan tutup kepala atau kudungan itu berkata kepada orang-orang tua mereka bahwa di Australia mengenakan pardah dianggap pelanggaran besar, ibu-ibu juga tinggalkanlah pardah. Maka terpaksa ibu-ibu mereka juga yang sebelumnya sepanjang umur terbiasa mengenakan pardah, meninggalkannya karena takut dianggap bersalah. Padahal sesungguhnya di Australia tidak ada larangan memakai pardah dan tidak juga dianggap dosa bagi yang mengenakan pardah. Tidak ada sekatan terhadap penggunaan pardah. Semata-mata demi fasion dan trends beberapa anak perempuan muda telah meninggalkan pardah. Seorang anak perempuan yang datang dari Pakistan ke Australia setelah ia menikah menulis surat kepada saya bahwa dia telah dipaksa meninggalkan pardah atau karena pengaruh lingkungan dia juga meninggalkan pardah. Selanjutnya dia menulis, “Ketika Hudhur mengunjungi Australia dan berpidato mengenai pardah, pada waktu itu saya sedang memakai burqah, dari sejak itu sampai sekarang saya tetap berusaha mengenakan burqah dan saya berdoa juga agar tetap mengenakan burqah, saya mohon agar Hudhur juga mendoakan saya.” Pemakaian pardah ditinggalkan karena perintah di dalam Al-Quran mengenai pardah itu tidak diingat di dalam benak secara berulang-ulang. Tidak pula di rumah disebut-sebut tentang pentingnya pemakaian pardah. Maka untuk perbaikan amal, sangat penting sekali menyebut-nyebut secara berulang-ulang, yaitu menyebut keburukan-keburukan dan kebaikan-kebaikan secara berulang-ulang.

Hambatan Ke-7 Perbaikan Amal: Kurangnya Rasa Takut kepada Tuhan

Hambatan ke-tujuh, dalam perbaikan amal adalah hubungan dan perilaku manusia yang berat dan takut kepada Tuhan yang berkurang.[5]

Kadangkala serakah, hubungan setiakawan (persahabatan), persaudaraan, perkelahian, dendam-kesumat, permusuhan atau kebencian tidak membuktikan segi kehidupan yang baik. Contohnya, amanat, manusia tidak memandangnya sebagai sebuah perintah Allah Ta’ala, melainkan menggunakannya dengan pandangan lain; umpamanya, bagaimana amanat (jabatan) itu akan menambah pengaruh dirinya atas teman-temannya, atau akan mengurangi. Begitu juga terhadap kebenaran tidak memandang bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berkata benar, melainkan dengan pandangan bahwa, apakah dengan berkata benar ini tidak merugikan dirinya sendiri atau temannya atau keluarganya? Seorang manusia memberi kesaksian menentang orang lain karena pada suatu waktu dia telah merugikan dirinya. Dia pikir, “Sekarang saya mendapat ksempatan untuk membalas dendam kepadanya, akan memberi kesaksian melawan dia.” Jadi, timbulnya kelemahan di dalam amal disebabkan lenyapnya perasaan takut kepada Tuhan di dalam hati manusia. Dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala perintah itu harus selalu terpampang di hadapan mata kita, bahwa sekalipun harus memberi kesaksian menentang diri sendiri, menentang kedua ibu-bapak atau saudara-saudara kita, tetapi kebenaran dan kejujuran harus diutamakan:

... شُہَدَآءَ لِلّٰہِ وَلَوۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِکُمۡ اَوِ الۡوَالِدَیۡنِ وَالۡاَقۡرَبِیۡنَ ...

“jadilah saksi karena Allah walau pun bertentangan dengan diri kamu atau bapak-bapak atau kaum kerabat (An—Nisa 136).

Hambatan Ke-8 Ishlah Amal (Perbaikan Amal): Keadaan keluarga yang Belum Baik

Hambatan kedelapan, dalam perbaikan amal adalah, sangat sulit sekali selama keadaan semua anggota keluarga belum baik.[6]

Misalnya, kejujuran tidak akan dapat menjadi sempurna, atau standarnya tidak dapat bertahan apabila isteri dan anak-anak juga tidak bersama-sama mendukung sepenuhnya. Pemimpin rumah tangga betapapun banyaknya menghasilkan uang secara halal, namun jika isterinya merampas harta tetangga atau telah merugikan orang lain, berusaha mencuri harta orang. Atau anaknya membawa uang suap dari kantornya ke rumah, maka semua harta keluarga itu tercemar dan tidak halal lagi. Khususnya bagi keluarga yang disebut Join Family di mana semua keluarga tinggal bersama dalam satu rumah. Begitu juga mengenai amal yang lain, apabila semua keluarga tidak sepakat berusaha melakukan perbaikan, maka pada suatu waktu pengaruh buruk satu orang akan menular kepada yang lain. Isteri shaleh, namun suami mencari nafkah tidak halal, maka akibatnya akan membawa kesan buruk kepada keluarga. Jika bapak patuh menunaikan shalat namun anak-anak dibiarkan tidak diarahkan mengerjakan shalat, atau isteri menaruh perhatian terhadap menunaikan shalat namun suami lalai tidak menunaikan shalat, maka anak-anak akan meniru perilaku bapak mereka. Di dalam khotbah Jumat yang lalu juga telah saya berikan contoh-contoh lainnya. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quranul Karim:

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَکُمۡ وَاَہۡلِیۡکُمۡ نَارًا ...

yakni, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu hanya menyelamatkan diri sendiri dari api melainkan kamu selamatkanlah seluruh keluarga juga dari api Jahannam... (At Tahrim 66:7).

Jadi, tidak cukup hanya menyelamatkan diri kita sendiri dari api Jahannam melainkan menyelamatkan setiap orang di dalam keluarga juga adalah wajib atas kita.

Maka untuk mengadakan usaha perbaikan amal perlu sekali perbaikan seluruh anggota keluarga dan untuk itu semua anggota keluarga harus berusaha bersama-sama secara kompak. Kepala keluarga mempunyai kedudukan sangat penting sekali dalam usaha itu. Kadangkala terjadi kelengahan dari istri dan anak-anak, atau mereka merasa sulit atau kasih-sayang terhadap anak yang berlebihan menjadi hambatan bagi perbaikan amal di dalam keluarga.

Selain dari delapan macam hambatan tersebut di atas masih ada lagi beberapa macam hambatan. Baru beberapa macam saja hambatan-hambatan perbaikan amal yang telah saya jelaskan. Namun jika direnungkan semua perkara telah terhimpun di dalam delapan macam penyebab atau hambatan itu.

Sebagai ringkasannya, terdapat hambatan-hambatan dalam usaha perbaikan amal yang menjauhkan manusia dari Allah Ta’ala atau melemparkan manusia jauh dari qurb (kedekatan) Allah Ta’ala. Jika kita ingin memperbaiki amal pribadi kita maka perhatian terhadap itu semua sangat perlu sekali. Hanya dengan mulut saja bicara perbaikan amal tidak akan pernah terjadi.

Upaya keras Seorang Penceramah di Eropa Memperbaiki Kelemahannya

Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. telah memberi sebuah contoh mengenai hal tersebut. Ada seorang lecturer atau penceramah di Eropa, yang selalu menyampaikan ceramah sangat baik sekali. Akan tetapi di waktu menyampaikan ceramah ia selalu menggerak-gerakkan bahunya ke atas dan ke bawah, yang menyebabkan para hadirin tertawa melihatnya. Dia pun menyadarinya dan berusaha keras untuk menghindari kelemahannya itu, akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya ia berikhtiar untuk menggantungkan dua bilah pedang dari atas langit-langit sedemikian rupa sehingga ujung kedua pedang itu menyentuh sebelah kanan dan kiri kedua pundaknya masing-masing. Ketika ia mulai berlatih pidato dan bahunya mulai bergerak-gerak ke atas maka ujung kedua pedang itu menyentuh pundaknya, kadang-kadang pundak sebelah kanan kadang-kadang pundak sebelah kiri menyentuh ujung pedang itu. Maka setelah beberapa waktu lamanya berlatih akhirnya kebiasaannya itu sudah hilang lenyap.[7]

Maka untuk membiasakan berbuat amal baik diperlukan usaha keras seperti itu, sampai akhirnya terpaksa untuk melakukan amal-amal kebaikan dan untuk itu semua anggota keluarga harus serempak melakukannya. Setiap keluarga harus berusaha keras untuk itu, bahkan setiap orang dari setiap keluarga sangat perlu untuk berusaha seperti itu dan usaha-usaha itu tidak akan berhasil tanpa pengurbanan apapun yang berkaitan dengan usaha itu. Setiap orang Ahmadi perlu sekali mengadakan analisa terhadap diri masing-masing, perlu sekali menyerahkan pengurbanan, perlu sekali melakukan janji yang solid, jika tidak, kita tidak akan berhasil di dalam usaha-usaha kita. Maksud yang sangat besar diutusnya Hadhrat Masih Mau’ud as ke dunia adalah agar perbaikan akidah dan amal kita keduanya mencapai puncak yang luhur. [8]

Dalam Segi “Perbaikan Amal” Belum Memperoleh Kemenangan Besar

Sebagaimana telah saya katakan di dalam khotbah-khotbah bahwa, sekalipun kita telah meraih kemenangan besar dalam segi akidah, sehingga akidah-akidah kita yang mula-mula dibantah keras oleh musuh-musuh Jemaat ketika dikemukakan secara terbuka kepada mereka, sekarang kebanyakan musuh-musuh Jemaat itu sudah mulai menyadari dan mengakui kebenarannya. Yaitu orang-orang Muslim yang sekarang baru berkata Nabi Isa as tidak naik ke langit atau Nabi Isa tidak akan turun dari langit. Mereka berkata demikian — atau akidah apa pun yang menyebabkan mereka telah mengakui — tanpa disadari bahwa akidah Jemaat Ahmadiyah telah membungkam, menutup mulut mereka, kemudian terpaksa mengakui akidah-akidah kita. Juga tentang jihad, mata ulama-ulama besar baru terbuka dan sekarang telah terang-terangan menyatakan bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah jihad melainkan terrorisme, dan sekarang jihad dengan kekerasan tidak diperbolehkan lagi, “Islam tidak mengizinkan,” kata mereka. Mereka tidak mau menyadari tentang jihad itu, dalil apa pun yang mereka kemukakan, sebetulnya ajaran Ahmadiyah telah mempengaruhi mereka. Sebaliknya jika kita meninjau kepada keadaan amal-amal kita akan nampak kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan. Spirit (semangat) belum tertanam di dalam diri kita yang dengan spirit itu kita melakukan pengkhidmatan yang dapat ditunjukkan kepada dunia, sehingga dunia tidak dapat membantah keunggulan kita. Sekarang kita belum mengamalkan ajaran sepenuhnya secara tetap, yang untuk perbaikannya telah dikemukakan cara mengamalkannya oleh Islam, bahkan kadangkala kita cenderung melakukan perkara-perkara kecil yang biasa dilakukan oleh orang lain. Tentang itu telah saya berikan contoh-contohnya. Bukannya mengajak masyarakat untuk mencontoh kita, sebaliknya kita mulai meniru-niru gerak-gerik mereka. Di beberapa tempat terpaksa kita menelan rasa malu menyaksikan cara beramal saudara-saudara kita.

Upaya Menegakkan “Dua Dinding Amal”

Kita harus berhasil di dalam segala upaya perbaikan amal kita. Kita harus menjaga jangan sampai air ruhani yang telah kita peroleh berkat-berkatnya di zaman ini menjadi sia-sia, melainkan harus mencurahkannya ke dalam sungai-sungai yang akan menjadi sarana penyiram bumi yang sangat berfaedah, bukan seperti air yang mengalir ke sana-kemari tanpa maksud. Kita harus menetapkan batasan-batasan tertentu bagi diri kita sendiri. Kita harus menetapkan peraturan-peraturan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perbaikan amal-amal kita sendiri. Barulah kita akan sukses dalam meraih maksud. Demi memperkokoh tegaknya itikad dan kalimah Thayyibah, kita telah menyerahkan banyak pengurbanan, baik pengurbanan jiwa-raga maupun harta-benda, dan sampai sekarang kita terus-menerus melakukan pengurbanan, namun kita tidak banyak memberi perhatian terhadap upaya menegakkan dinding-dinding bangunan amal, yang seharusnya kita lakukan.

Hadhrat Mushlih Mau’ud r.a. telah menjelaskan perkara ini dengan cara yang ringkas dan sangat indah sekali beliau bersabda: “Sampai sekarang kita baru menegakkan dua buah dinding mengenai akidah, sedangkan dua buah dinding mengenai amal kita belum menegakkannya. Oleh sebab itu pencuri masuk dan mengambil harta kita kemudian melarikannya. Akan tetapi apabila berkat dari pengurbanan kita keempat dinding akan menjadi sempurna, maka pencuri tidak akan bisa masuk.” [9]

Maka sekarang kita harus berjanji untuk mengurbankan keinginan-keinginan kita, mengurbankan keinginan-keinginan isteri dan anak-anak kita juga, dan berjanji akan berusaha untuk memenuhi hak-hak pengurbanan yang dengannya dinding-dinding perbaikan amal menjadi semakin kokoh kuat. Dalam hal ini kita tidak akan menoleh ke arah cara orang-orang Ghair atau tidak akan menelan rasa malu dan tidak akan memberi kesempatan pencuri masuk untuk merugikan kita. Semoga Allah Ta’ala selalu memberi taufiq kepada kita semua. Amin

Catatan

Pengalihbahasa: Mln Hasan Basri Sy.

[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Khutubaat-eMahmud, Jilid 17, halaman 367-369, khotbah jumat 29 Mei 1936

[3] Khutubaat-e-Mahmud, Jilid 17, halaman 375, khotbah Jumat 12 Juni 1936

[4] Khutubaat-eMahmud, Jilid 17, halaman 380, khotbah jumat 12 Juni 1936

[5] Khutubaat-eMahmud, Jilid 17, halaman 383, Khotbah Jumat 12 Juni 1936

[6] Khutubaat-eMahmud, Jilid 17, halaman 384, khotbah jumat 12 Juni 1936

[7] Khutubaat-eMahmud, Jilid 17, halaman 390, khotbah Jumat 12 Juni 1936

[8] Malfuzhaat, jilid pancjam (V), halaman 454-455, Terbitan Rabwah

[9] Khutubaat-e-Mahmud, Jilid 17, halaman 391-392, khotbah jumat 12 Juni 1936